Friday, July 10, 2009

Tentang Pengelolaan BBM Indonesia

Bahan Bakar Minyak (BBM) merupakan salah kebutuhan pokok masyrakat Indonesia. Tidak peduli rakyat miskin atau kaya, seluruhnya membutuhkan BBM untuk menjalani hdiup dan kehidupannya. Meskipun demikian setiap rakyat Indonesia membutuhkan BBM dengan derajat yang berbeda-beda satu dengan yang lain. Oleh karena itu, wajar jika kebutuhan BBM merupakan kebutuhan yang harus dijamin pemerintah ketersediaannya.

Disebabkan oleh sebagian penduduk Indonesia berada di bawah garis kemiskinan, maka terdapat kewajiban pemerintah untuk menyediakan BBM dengan harga yang lebih murah. Hal tersebut bermanfaat untuk memberikan jaminan aksesibilitas BBM terhadap masyarakat. Pemerintah menggunakan mekanisme subsidi untuk menjamin ketersediaan BBM untuk masyarakat. BBM dijual kepada masyarakat dengan harga yang lebih murah dibandingkan dengan harga pasar. Selisih harga tersebut merupakan besaran subsidi yang diberikan oleh pemerintah untuk menjamin keterjangkuan BBM pada masyarakat.

Mekanisme subsidi merupakan instrumen pemerintah dalam kerangka besar kebijakan fiskal. Secara umum, kebijakan fiskal merupakan kebijakan yang berkaitan dengan penerimaan dan pengeluaran anggaran negara. Subsidi BBM dalam postur penganggaran APBN merupakan salah satu komponen pengeluaran pemerintah yang dapat berfluktuasi besarannya akibat perubahan harga komponen minyak mentah dunia. Oleh karena itu, jika harga minyak dunia memiliki kecenderungan naik maka terdapat potensi besaran subsidi BBM akan memiliki tren meningkat begitupun sebaliknya.

Penetapan harga acuam minyak Indonesia tidak sepenuhnya ditentukan oleh fluktuasi indikator harga minyak utama dunia. Penetapan harga minyak Indonesia (Indonesia Crude Price/ICP) merupakan rata-rata tertimbang indikator harga minyak di pasar Asia. Sehingga perubahan harga mniyak dunia masih memiliki pengaruh jeda terhadap perubahan besaran subsidi pemerintah untuk BBM. Pada APBN 2009, ICP diasumsikan pada kisaran 80 dolar setiap barel.

Secara teknis, cakupan jenis BBM yang disubsidi adalah bensin (premium), solar dan minyak tanah. Berdasarkan asumsi APBN kuantitas pemakaian perhari untuk ketiga jenis BBM tersebut berturut-turut adalah 50 juta liter, 37 juta liter dan 22 juta liter. Berdasarkan suatu asumsi APBN total subsidi yang harus dikeluarkan pemerintah untuk pemakaian BBM selama tahun 2008 lalu dengan asumsi ICP sebesar $110,6 dan kurs sebesar Rp9196 adalah 146 triliun rupiah.

Dengan menggunakan asumsi di atas biaya produksi BBM yang meliputi penyedotan minyak dari dalam bumi, proses minyak mentah menjadi BBM serta biaya pengangkutan mencapai rata-rata Rp1454 per liter. Harga produksi ini berlaku pada 927.000 barel per hari yang dilakukan oleh Indonesia. Namun di sisi lain, masih terdapat besaran impor BBM untuk mencukupi kebutuhan konsumsi dalam negeri yang mencapai 1,5 juta barel.

Jika kita mengambil contoh kasus pada asumsi pemerintah dalam APBN-P 2008 mendapatkan penerimaan dari sektor minyak bumi sebesar 179,5 triliun. Berdasarkan asumsi produksi sebesar 927.000 barel per hari (bph) seharusnya pemerintah mendapatkan penghasilan sebesar 292,507 triliun. Potensi tersebut diperoleh dengan mengalikan produksi 927.000 dengan kurs Rp9196 dan harga minyak $110,6 selama 365 hari. Artinya, rasio realisasi pendapatan minyak bumi terhadap potensi pendapatannya hanya sekitar 52 persen.

Dengan pola manajemen minyak bumi tersebut (realisasi penerimaan minyak hanya 52%) maka kenaikan harga minyak sebesar $120, akan berpotensi membuat anggaran pemerintah mengalami defisit. Sehingga dengan harga minyak mencapai $120, penerimaan negara hanya akan bertambah sebesar 39 triliun. Di sisi lain subsidi akan membengkak hingga mencapai 180 triliun.

Berdasarkan simulasi sederhana ini, dengan asumsi kontrak bagi hasil yang “paling merugikan” antara pemerintah dan perusahaan minyak sebesar 70:30, maka pemerintah dapat memperoleh tambahan pendapatan dari sektor minyak sebesar 99 triliun. Dengan tambahan 99 triliun pemerintah justru pembengkakan subsidi hinggas mencapai besaran 180 triliun dapat diatasi. Dalam kondisi ini bahkan pemerintah mendapatkan pendapatan windfall sebesar 44 triliun. Berdasarkan penjelasan di atas, sumber utama inefisiensi anggaran terletak pada kebocoran realiasai pendapatan minyak bumi. Dengan mengurangi kebocoran penerimaan migas sebesar 1 persen saja, pemerintah sudah dapat menambah penerimaan negara sebesar 2 triliun. Dalam kondisi ini sebaiknya pemerintah perlu memikirkan kembali pola pengelolaan BBM di Indonesia.

www.hery-sulistio.blogspot.com

1 comment:

Said said...

di mana sumber kebocoran realisasi penerimaan? cost recovery mungkin?