Monday, December 29, 2008

Ekspektasi Rasional Ekonomi Indonesia 2009 via BI-Rate

Menarik dicermati harapan terhadap perekonomian Indonesia pada tahun 2009. Tren penurunan suku bunga yang terjadi di berbagai negara di respon terlalu kaku oleh Bank Indonesia sejauh ini. Memang benar Indonesia berada dalam rezim sticky wages dan sticky prices, namun haruskah Bank Indonesia menerapkan sticky interest rate? Ketidakefektifan SKB 4 menteri mendorong harapan mengubah rezim menjadi rezim harga dan upah yang fleksibel tidak dapat diimplementasikan di Indonesia. Demonstrasi penolakan SKB 4 menteri sejauh ini berhasil mempertahankan Indonesia tetap berada pada rezim upah dan harga yang kaku. Pertanyaan tentang ketidakpastian rezim membuat BI sangat berhati-hati dalam melakukan kebijakan moneter yang dapat mempengaruhi ekspektasi masyarakat. Sejauh ini, BI dalam pengamatan saya seolah menerapkan rezim suku bunga kaku. Meskipun demikian, kekakuan ini seharusnya tidak boleh terjadi lagi pada penetapan bi-rate pada januari mendatang.
Beberapa indikator ekonomi dinilai beberapa ekonom telah berada dalam keseimbangan baru. Keseimbangan baru nilai tukar berada pada kisaran Rp10.800-Rp11.200. Hal ini sebenarnya kabar buruk bagi perekonomian kita karena keseimbangan baru terjadi ketika suku bunga AS telah berada pada kisaran paling rendah dalam beberapa tahun terakhir yaitu 0,25%. Seburuk itukah perekonomian kita sehingga seolah tidak ada lagi insentif yang membuat risiko perekonomian Indonesia menjadi sangat besar. Oleh karena itu, kondisi ini harus segera direspon aktif oleh pemerintah dan Bank Indonesia melalui beberapa kebijakan yang dapat membuat ekspektasi baru yang lebih positif bagi perekonomian Indonesia.
Seharusnya risiko perekonomian Indonesia jangan dinilai terlalu besar oleh Bank Indoensia dan Pemerintah. Spread sebesar 9%(9.5% bi rate dikurnagi 0,25% fed rate) terlalu tinggi. Seolah menggambarkan perekonomian kita terlalu lemah. Jika sejauh ini belum ada respon kebijakan moneter akibat penurunan suku bunga AS. Tentu saja karena penentuan BI-rate baru akan diputuskan awal Januari 2009. Namun ekspektasi bahwa perekonomian kita masih dalam kondisi positif mampu dihembuskan BI ke pasar. Oleh karena itu, diharapkan BI akan menurunkan BI-rate secara signifikan sebesar 100 basis poin atau minimal 50 basis poin pada bulan depan, serta terus akan memberikan ekspektasi ke depan bahwa ekonomi kita akan kuat dengan menurunkan margin suku bunga sampai ke keseimbangan awal.
Hal ini penting dilakukan mengingat beberapa indikator telah menunjukkan kondisi yang "bersahabat". Kebijakan menurunkan harga BBM dua kali sebesar 15% pada bulan desember ini memberi sinyal bahwa inflasi akan terjaga rendah. Momentum inilah yang harus dimanfaatkan oleh Bank Indonesia untuk menurunkan Bi-rate secara signifikan. Spread suku bunga AS dan Indonesia yang saat ini mencapai 9% harus diturunkan kembali ke keseimbangan awal yaitu 4%-5%. Jangan sampai kemudian spread yang besar ini diterima pasar sebagai ekspektasi suatu keseimbangan baru perekonomian Indonesia.
Penurunan suku bunga ini juga akan memberikan dampak positif dalam jangka panjang. Dalam jangka panjang cadangan amunisi bank sentral dalam meredam inflasi akibat shock minyak bumi jika perekonomian berada dalam siklus "boom" kembali. akan tetapi jika hal itu tidak dilakukan maka Bank Indonesia hanya akan memiliki cadangan amunisi yang terbatas jika berada dalam situasi tersebut. Tentunya hal ini sangat tidak bersahabat dengan sektor riil. Besaran ekspektasi keseimbangan baru paritas suku bunga dalam negeri terhadap luar negeri harus berani dipangkas oleh Bank Sentral melalui ekspektasi baru ekonomi Indonesia.
Bank Indonesia dan pemerintah harus percaya diri dalam mengarahkan ekspektasi pasar karena kondisi saat ini sangat memungkinkan. Hal itu tidak terlepas dari potensi "effective demand" yang masih besar. Inflasi yang relatif akan rendah, konsumsi yang masih tinggi, biaya modal yang memiliki tren menurun, pengelolaan anggaran pemerintah yang sangat managable, harus berani disampaikan oleh bank sentral melalui penurunan BI-rate secara drastis kepada pasar dalam menunjukkan tingginya tingkat “effective demand” perekonomian Indonesia. Inilah ekspektasi baru perekonomian Indonesia 2009 yang nantinya akan menjadi kado terindah pemerintah kepada masyarakat ditengah pesimisme perekonomian global saat ini.