Friday, July 17, 2009

Perekonomian Nir-Ruh

Tanda-tanda kemenangan salah satu pasangan presiden memberikan harapan terhadap status quo perekonomian Indonesia. Hal tersebut terindikasi dari sekitar 60 persen masyarakat yang mendukung dilanjutkannya pengelolaan perekonomian status quo tersebut. Ilusi jargon pada masyarakat Indonesia yang penghindar risiko (risk averse) adalah kombinasi sempurna untuk menjelaskan bagaimana sekitar 105 juta pemilih di Indonesia menentukan pilihannya.

Ilusi jargon semakin terasa karena ekonomi hanya dipakai sebagai salah satu isu untuk menggapai kekuasaan. Pada konteks ini hubungan politik dan ekonomi menjadi sekedar politisasi ekonomi. Ekonomi tidak lagi dipandang tentang bagaimana cara mensejahterakan masyarakat namun menjadi salah satu instrumen untuk memperoleh kekuasaan. Situasi ini tidak dapat dilepaskan dari dominasi para politisi oportunis dibandingkan para ekonom dan politisi. Ekonom dan politisi berada dalam posisi melegitimasi hasrat-hasrat politik para politisi oportunis.

Hal tersebut sangat terasa karena kemiskinan filosofi ekonomi dan politik sebagai dasar menjalankan perekonomian. Penolakan sebutan neoliberalisme tanpa menunjukkan secara tegas dasar filosofi pengelolaan perekonomian status quo tersebut menunjukkan hal tersebut tidak lebih hanya sebagai pragmatisme politik di Indonesia. Tujuan utama sangat terbatas hanya untuk memenangkan kekuasaan. Dalam situasi ini, para oportunis politik telah membutakan para ekonom dan politisi dari landasan filosofinya.

Pengkerdilan terhadap peran filosofi politik dan ekonomi mampu dicitrakan dengan baik oleh para oportunis politik Indonesia sebagai jalan meraih kekuasaan. Situasi ini tersemai dengan baik oleh hipokrasi para ekonom dan politsi itu sendiri. Hipokrasi tersebut telah melacurkan filosofi utama ekonomi dan politik dalam kemasan penggapaian kekuasaan sebagai pengabdian pada negara.

Penyikapan para politisi terhadap BLT menunjukkan lemahnya fundamental paradigma ekonomi maupun politik di Indonesia. Ketika salah satu parta besar menggulirkan kontroversi tentang paradigma pemberian BLT, ternyata lemparan paradigma tersebut dalam diskursus publik ternyata menjadi blunder bagi pencitraan partai tersebut. Menyadari tingkat pencitraan menurun, kemudian isu BLT tersebut diputarbalikkan kembali tanpa dasar paradigma yang jelas. Paradigma yang digulirkan pada awalnya yaitu bagaimana membangun bangsa ini dengan memberi kail atau ikan menjadi mentah karena alasan pencitraan tersebut.

Kemiskinan terhadap ideologi, filosofi, dan paradigma konstitusi menjadi nyata jika memperhatikan penglolaan negara ini. Keberpihakan pada masyarakat yang memberdayakan tergantikan oleh uluran donasi pemerintah kepada masyarakat. Dalam tataran teknis lainnya, paradigma inkonstitusional yang dimiliki penyelenggara negara menyebabkan hutang pemerintah saat ini memiliki sisi lain mata pedang yang siap menikam kualitas perekonomian negara ini. Beberapa contoh tersebut adalah sedikit gambaran paradigma parsial yang dimiliki oleh pengelola negara ini dan ternyata justru sangat inkonsitusional.

Pemberian BLT yang awalnya dimaksudkan sebagai mekanisme kompensasi kepada masyarakat akibat kenaikan harga BBM, ternyata masih tetap dilakukan sampai dengan hari-hari menjelang pemilu legislatif. Pengabaian paradigma demi pencitraan politik dalam hal ini menunjukkan miskinnya paradigma tentang pengelolaan kesejahteraan yang sesuai dengan pasal 27 dan 34 UUD 1945. Bagaikan binatang peliharaan, memberikan makanan tanpa mengajarkan bagaimana mendapatkan makanan hanya akan tetap membuat terdengarnya teriakan kelaparan keesokan harinya.

Fakta lain menunjukkan bahwa pengelolaan hutang negara saat ini memiliki filosofi yang inkonstitusional. Klaim tentang kemampuan membayar Indonesia yang bagus lewat indikator rasio PDB terhadap hutang ternyata tidak mampu meyakinkan investor untuk memiliki surat hutang Indonesia dengan harga yang murah. Meskipun secara kasat mata tidak ada yang aneh dalam pengelolaan hutang tersebut, namun terdapat implikasi inkonstitusional yang menjadi konsekuensinya.

Konsekuensi kebijakan tersebut terhadap perekonomian Indonesia secara filosofi ternyata sangat inkonstitusional. Hal tersebut setidaknya terlihat pada konsekuensi tegarnya suku bunga bank untuk menyaingi besaran imbal hasil surat hutang negara. Konsekuensi ekonomi riil yang menanggung beban bunga bank komersial adalah konsekuensi inkonstitusional karena telah mengkerdilkan ayat 1 pasal 33 UUD 1945. Dalam perspektif antargenerasi, generasi mendatang adalah hak waris resmi hutang pemerintah saat ini. Sementara itu, generasi masa depan hanya mewarisi gelembung PDB akibat transaksi sektor keuangan jangka pendek sebagai kemampuan membayar hutang.

Keberpihakan para pengelola ekonomi untuk menggapai kekuasaan terhadap filosofi konstitusi merupakan aspek penting keberlanjutan Indonesia. Konstitusi Indonesia adalah kesepakatan bangsa yang mampu menghilangkan berbagai ikatan primordial dan perbedaan perspektif agama dalam pengelolaan ekonomi negara. Oleh karena itu, seharusnya hal yang membedakan antar partai dan antar capres hanyalah paradigma teknis pengelolaannya, sementara pada tataran filosofi dan ideologi sebagi ruhnya harus tetap konsisten terhadap konstitusi Indonesia. Cara inilah jalan untuk memperkaya ideologi dan filosofi ekonomi politik Indonesia.

Monday, July 13, 2009

Paradigma Ekonomi Maritim yang Terlupakan

(1) Hal yang sedikit terlewatkan dari agenda ekonomi para Capres beberapa waktu yang lalu adalah aspek geografis pembangunan ekonomi. Setidaknya sejak negara ini merdeka, pembangunan ekonomi dengan paradigma kontinental menjadi paradigma yang dominan. Hal tersebut tampak pada fokus pembangunan yang menitikberatkan infrastruktur daratan seperti jalan, jembatan dibandingkan dengan infrastruktur maritim. Secara implisit sebenarnya dalam paradigma kontinental ini, sungai dan laut dipandang sebagai hambatan pembangunan ekonomi.

(2) Isu mengenai cara menyatukan bangsa pada kasus negara yang memiliki cakupan daerah yang luas adalah isu penting dalam memberikan solusi terhadap peningkatan kesejahteraan ekonomi masyarakat. Amerika Serikat merupakan negara yang menyatukan daerahnya yang cukup luas melalui jalur rel kereta api. Jalur kereta api tersebut adalah sarana yang menghubungkan Amerika Serikat bagian selatan dan Amerika Serikat bagian utara. Begitu pun halnya di Cina, jalan tol yang menghubungkan Cina bagian timur sampai dengan Cina bagian barat merupakan nadi penting bagi kemajuan pembangunan ekonomi di Cina pada saat ini.

(3) Beberapa pemikir Indonesia yang visoner mulai menyadari hal ini. Setidaknya sampai dengan saat ini, kesadaran bahwa interaksi perekonmian bangsa Indonesia masih belum bersinergi secara utuh menjadi salah satu alternatif solusi penting dalam optimasi pembangunan ekonomi Indonesia. Bermunculannya konsep penyatuan pulau-pulau melalui terowongan bawah laut maupun jembatan menjadi gagasan penting dalam menyatukan Indonesia.

(4) Indikasi nyata konsep penyatuan Indonesia adalah pembangunan Jembatan Suramadu yang menghubungkan pulau Jawa dan Madura. Jembatan Suramadu juga menjadi tonggak penyatuan seluruh Indonesia dalam satu daratan yang luas yang dipisahkan oleh lautan. Paradigma ini mentasbihkan cara pandang bangsa Indonesia yang menggunakan pendekatan cara pandang kontinental.

(5) Jika sedikit melihat ke belakang, perubahan paradigma tidak dapat dilepaskan dari sejarah penjajahan Belanda di Indonesia. Tanda-tanda pengkerdilan sistem maritim dimulai sejak perjanjian Bongaya antara VOC dengan kerajaan di Sulawesi Selatan. Di Pulau Jawa upaya pemindahan kekuasaan dari Demak ke Kertasura lalu kemudian ke Surakarta merupakan salah satu upaya lain perubahan paradigma maritim ke peradigma kontnental. Kebudayaan maritim Majapahit, Sriwijaya, Gowa, Aceh, Cirebon, sampai dengan Ternate dan Tidore yang memiliki armada laut kuat mendadak tenggelam sejak penjajahan Belanda berlangsung.

(6) Perubahan kebudayaan maritim ke kebudayaan kontinental merupakan hasil nyata penjajahan Belanda kepada bangsa Indonesia. Terdapat suatu upaya sistematis yang dilakukan Belanda yang seakan mencoba membatasi lingkup bangsa Indonesia hanya terbatas pada daratan. Hal tesebut juga terus terwariskan kepada para pejuang yang mencoba membebaskan negara ini dari penjajahan. Kondisi inilah yang menyebabkan penjajahan Belanda terhadap Indonesia brlangsung langgeng selama 350 tahun.

(7) Warisan ini kemudian terlegitimasi menjadi suatu ideologi membangun perekonomian Indonesia. Meskipun demikian, ideologi pembangunan kontinental tentu tidak sepenuhnya menjadi pendekatan yang salah jika diterapkan. Hal tersebut disebabkan karena Indonesia masih memiliki wilayah pulau-pulau dengan daratan yang luas. Selain itu, ada bagian bangsa Indonesia yang memiliki kultur kontinental. Beberapa suku bangsa di Indonesia seperti Papua, Timor, Batak, Dayak dan Toraja adalah beberapa representasinya. Akan tetapi, kurang bijak tentunya apabila menjadikan ideologi pembangunan kontinental sebagai ideologi arus utama dalam pembangunan perekonomian Indonesia.

(8) Kondisi ini kemudian seakan melupak fakta lain bahwa terdapat beberapa suku bangsa yang kental budaya maritimnya. Beberapa suku bangsa tersebut antara lain yaitu Jawa, Sunda, Melayu, Madura, Bali, Bugis, sampia dengan Ternate dan Tidore. Selain itu beberapa fakta menunjukkan bahwa sebagian besar pusat-pusat aktivitas perekonomian di Indonesia terletak sangat dekat dengan laut.

(9) Hal tersebut tidak dapat dilepaskan dari bangun relasi antar pulau di Indonesia yang sudah terjalin sejak lama. Desain pusat aktivitas perekonomian dan sosial di nusantara mendukung hal tersebut. Kenyataan bahwa sebagian besar pusat-pusat aktivitas ekonomi Indonesia menghadap ke laut bagian dalam wilayah Indonesia adalah bukti anggunnya desain tersebut.

(10) Sayangnya, relasi ekonomi dan sosial antar pulau yang telah terjalin lama tidak mampu dipertahankan karena minimnya visi maritim pemimpin Indonesia. Penurunan kualitas perdagangan antar pulau dimulai sejak tahun 1957/1958 (BIES, 1966). Dalam catatan tersebut, ditemukan fakta bahwa kapasitas pelabuhan tidak ditingkatkan seiring dengan meningkatnya volume perdagangan antar pulau di Indonesia.

(11) Inilah pangkal utama salah kaprah pembangunan Indonesia sampai dengan saat ini. Tidak tersedianya infrastruktur laut yang memadai menyebabkan perdagangan antar pulau di Indonesia yang sudah terdesain dengan baik tidak berkembang secara optimal. Di sisi lain, luas wilayah pulau merupakan unsur pendukung yang menggoda pemimpin untuk mengimplementasikan paradigma pembangunan ekonomi yang berbasis kontinental.

(12) Hal ini menjadi semakin kompleks karena ketidaksadaran mengimplementasikan paradigma ini telah meletakkan pulau jawa sebagai pusatnya. Sikap abai terhadap menjaga relasi ekonomi dan sosial antar pulau selanjutnya menyebabkan ketimpangan ekonomi antara Jawa dan luar Jawa. Ketidakmerataan ini merupakan PR serius bagi presiden terpilih untuk melihat persoalan pembangunan perekonomian dalam perspektif yang lebih luas. Revitalisasi pembangunan ekonomi dengan tidak melewatkan paradigma maritim dalam membangun ekonomi merupakan kekuatan utama bangsa Indonesia ke depan.

Friday, July 10, 2009

Tentang Pengelolaan BBM Indonesia

Bahan Bakar Minyak (BBM) merupakan salah kebutuhan pokok masyrakat Indonesia. Tidak peduli rakyat miskin atau kaya, seluruhnya membutuhkan BBM untuk menjalani hdiup dan kehidupannya. Meskipun demikian setiap rakyat Indonesia membutuhkan BBM dengan derajat yang berbeda-beda satu dengan yang lain. Oleh karena itu, wajar jika kebutuhan BBM merupakan kebutuhan yang harus dijamin pemerintah ketersediaannya.

Disebabkan oleh sebagian penduduk Indonesia berada di bawah garis kemiskinan, maka terdapat kewajiban pemerintah untuk menyediakan BBM dengan harga yang lebih murah. Hal tersebut bermanfaat untuk memberikan jaminan aksesibilitas BBM terhadap masyarakat. Pemerintah menggunakan mekanisme subsidi untuk menjamin ketersediaan BBM untuk masyarakat. BBM dijual kepada masyarakat dengan harga yang lebih murah dibandingkan dengan harga pasar. Selisih harga tersebut merupakan besaran subsidi yang diberikan oleh pemerintah untuk menjamin keterjangkuan BBM pada masyarakat.

Mekanisme subsidi merupakan instrumen pemerintah dalam kerangka besar kebijakan fiskal. Secara umum, kebijakan fiskal merupakan kebijakan yang berkaitan dengan penerimaan dan pengeluaran anggaran negara. Subsidi BBM dalam postur penganggaran APBN merupakan salah satu komponen pengeluaran pemerintah yang dapat berfluktuasi besarannya akibat perubahan harga komponen minyak mentah dunia. Oleh karena itu, jika harga minyak dunia memiliki kecenderungan naik maka terdapat potensi besaran subsidi BBM akan memiliki tren meningkat begitupun sebaliknya.

Penetapan harga acuam minyak Indonesia tidak sepenuhnya ditentukan oleh fluktuasi indikator harga minyak utama dunia. Penetapan harga minyak Indonesia (Indonesia Crude Price/ICP) merupakan rata-rata tertimbang indikator harga minyak di pasar Asia. Sehingga perubahan harga mniyak dunia masih memiliki pengaruh jeda terhadap perubahan besaran subsidi pemerintah untuk BBM. Pada APBN 2009, ICP diasumsikan pada kisaran 80 dolar setiap barel.

Secara teknis, cakupan jenis BBM yang disubsidi adalah bensin (premium), solar dan minyak tanah. Berdasarkan asumsi APBN kuantitas pemakaian perhari untuk ketiga jenis BBM tersebut berturut-turut adalah 50 juta liter, 37 juta liter dan 22 juta liter. Berdasarkan suatu asumsi APBN total subsidi yang harus dikeluarkan pemerintah untuk pemakaian BBM selama tahun 2008 lalu dengan asumsi ICP sebesar $110,6 dan kurs sebesar Rp9196 adalah 146 triliun rupiah.

Dengan menggunakan asumsi di atas biaya produksi BBM yang meliputi penyedotan minyak dari dalam bumi, proses minyak mentah menjadi BBM serta biaya pengangkutan mencapai rata-rata Rp1454 per liter. Harga produksi ini berlaku pada 927.000 barel per hari yang dilakukan oleh Indonesia. Namun di sisi lain, masih terdapat besaran impor BBM untuk mencukupi kebutuhan konsumsi dalam negeri yang mencapai 1,5 juta barel.

Jika kita mengambil contoh kasus pada asumsi pemerintah dalam APBN-P 2008 mendapatkan penerimaan dari sektor minyak bumi sebesar 179,5 triliun. Berdasarkan asumsi produksi sebesar 927.000 barel per hari (bph) seharusnya pemerintah mendapatkan penghasilan sebesar 292,507 triliun. Potensi tersebut diperoleh dengan mengalikan produksi 927.000 dengan kurs Rp9196 dan harga minyak $110,6 selama 365 hari. Artinya, rasio realisasi pendapatan minyak bumi terhadap potensi pendapatannya hanya sekitar 52 persen.

Dengan pola manajemen minyak bumi tersebut (realisasi penerimaan minyak hanya 52%) maka kenaikan harga minyak sebesar $120, akan berpotensi membuat anggaran pemerintah mengalami defisit. Sehingga dengan harga minyak mencapai $120, penerimaan negara hanya akan bertambah sebesar 39 triliun. Di sisi lain subsidi akan membengkak hingga mencapai 180 triliun.

Berdasarkan simulasi sederhana ini, dengan asumsi kontrak bagi hasil yang “paling merugikan” antara pemerintah dan perusahaan minyak sebesar 70:30, maka pemerintah dapat memperoleh tambahan pendapatan dari sektor minyak sebesar 99 triliun. Dengan tambahan 99 triliun pemerintah justru pembengkakan subsidi hinggas mencapai besaran 180 triliun dapat diatasi. Dalam kondisi ini bahkan pemerintah mendapatkan pendapatan windfall sebesar 44 triliun. Berdasarkan penjelasan di atas, sumber utama inefisiensi anggaran terletak pada kebocoran realiasai pendapatan minyak bumi. Dengan mengurangi kebocoran penerimaan migas sebesar 1 persen saja, pemerintah sudah dapat menambah penerimaan negara sebesar 2 triliun. Dalam kondisi ini sebaiknya pemerintah perlu memikirkan kembali pola pengelolaan BBM di Indonesia.

www.hery-sulistio.blogspot.com

Tuesday, June 16, 2009

Ekonomi Kerakyatan Tidak Sekedar Pro-Poor

(1)Ekonomi kerakyatan menjadi istilah yang jamak saat ini. Klaim tentang siapa pengusung sejati ekonomi kerakyatan berkembang menjadi diskursus yang menarik saat ini. Saling klaim ini menunjukkan bahwa tidak terdapat pengertian yang sama diantara para ekonom tentang sistem ekonomi ini. Selain itu, isu tentang ekonomi kerakyatan ternyata ditanggapi positif oleh rakyat sebagai harapan baru untuk meningkatkan kesejahteraan mereka.
(2)Salah satu calon presiden mendefinisikan ekonomi kerakyatan sebagai sistem ekonomi yang mendukung rakyat miskin dengan jargon pro-poor-nya. Benarkah ekonomi kerakyatan terwakili oleh klaim-klaim dari para capres tersebut? Secara singkat aspek tentang ekonomi kerakyatan akan di bahas secara singkat dalam tulisan ini.
(3)Ekonomi Kerakyatan yang sempat bermetamorfosis menjadi Ekonomi Pancasila merupakan sistem ekonomi yang sangat Indonesia. Hal tersebut disebabakan oleh ciri khas sistem ini yang merupakan buah pemikiran asli ekonom-ekonom Indonesia yang dilembagakan secara formal dalam pasal 33 UUD 1945 (sebelum perubahan). Berdasarkan definisi di atas maka ekonomi kerakyatan sesungguhnya ditunjukkan oleh konsep perekenomian Indonesia yang di susun oleh tiga pilar penting yaitu koperasi (pasal 33 ayat-1), BUMN yang menguasai hajat hidup orang banyak (pasal 33 ayat-2) dan pengelolaan kekayaan alam oleh negara (pasal 33 ayat 3). Sistem ekonomi yang bercirikan pasal 33 UUD 1945 tersebut selanjutnya disebut dengan ekonomi kerakyatan oleh beberapa ekonom Indonesia pada medio tahun 1980-an.
(4)Sistem ekonomi yang disusun sebagai usaha bersama dengan asas kekeluargaan yang sesuai dengan ayat 1 pasal 33 direpresentasikan oleh koperasi. Sebagai badan usaha dengan ciri kebersamaan usaha para anggotanya, koperasi diharapkan dapat menjadi potensi kekuatan ekonomi rakyat. Terlepas dari kelebihan dan kelemahannya, koperasi merupakan jelamaan kekuatan penting rakyat Indonesia yang bermodal lebih kecil dibandingkan dengan sektor usaha lainnya berperan aktif dalam percaturan perekonomian Indonesia. Jika dibandingkan dengan jenis badan usaha lainnya, koperasi merupakan badan usaha yang menjadi ciri khas Indonesia sebagai sebuah bangsa. Institusi-institusi yang terdapat dalam koperasi dinilai merupakan representasi nilai-nilai yang menjadi ciri khas bangsa Indonesia.
(5)Berdasarkan konsep inilah peran sebagian besar rakyat Indonesia yang bermodal kecil terakomodasi dalam miniatur sistem perekonomian Indonesia. Dalam sistem perekonomian Indonesia karakter khas koperasi dibandingkan dengan badan usaha lainnya menjadikan koperasi sebagai badan usaha yang secara penting dalam aksi pencapaian kesejahteraan rakyat. Implementasi peran koperasi terhadap perekonomian di Indonesia pada umumnya dan masyarakat pada khususnya tertuang pada UU No.25/1992 tentang koperasi serta direvitalisasi oleh Inpres 18/1998.
(6)Ekonomi kerakyatan masih memiliki ciri yang lain yang ada pada pasal 33 ayat dua dan tiga. Cabang-cabang produksi serta pengelolaan bumi, air dan kekayaan yang ada didalamnya secara optimal dikuasai oleh negara dan bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Ciri tersebut didefinisikan dengan cara nasionalisasi seluruh cabang produksi yang penting bagi rakyat seperti bidang energi, telekomunikasi, dan transportasi. Sementara itu, ayat tiga pada pasal ini mengarahkan kekuasaan terhadap kekayaan negara harus dapat dimanfaatkan untuk kepentingan rakyat.
(7)Klaim tentang konsep pro-poor sebagai ekonomi kerakyatan dalam satu sisi memang lebih implementatif. Namun hal tersebut justru mengaburkan definisi tentang ekonomi kerakyatan yang memiliki dimensi lebih luas dibandingkan dengan konsep pro-poor. Pro-poor policy merupakan kebijakan yang masih sangat dangkal dibandingkan dengan ekonomi kerakyatan. Konsep pro poor selama ini “masih” terbatas pada upaya mempertahankan konsumsi masyarakat agar tidak jatuh dalam kategori miskin. Manajemen harga, mekanisme transfer seperti BLT adalah beberapa cara untuk mempertahankan tingkat konsumsi masyarakat. Tingkat konsumsi masyarakat (C) dipertahankan dengan manajemen harga p, serta meningkatkan aksesibilitas qi dengan (8)BOS, biaya kesehatan murah dan sejenisnya.
Hal tersebut berbeda dengan ekonomi kerakyatan. Kondisi eksisting struktur pasar yang tidak sempurna dengan kecenduran monopolistik menempatkan posisi masyarakat dalam posisi yang lebih lemah. Hal ini hanya bisa ditandingi lewat koperasi. Sebagai usaha bersama rakyat, koperasi menjadi media pemberdayaan masyarakat. Hal ini tentunya berdimensi yang lebih luas dibandingkan kebijakan pro-poor yang diagung-agungkan itu.
Pemberdayaan dalam konsep ekonomi kerakyatan tidak hanya terbatas pada pemberian bantuan modal yang selama ini telah diklaim sebagai mekanisme pemberdayaan usaha rakyat. Pemberdayaan dalam ekonomi rakyat melalui koperasi tidak terbatas pada modal, tetapi pada daya tawar rakyat dalam strutkur pasar input dan output. Pemberdayaan yang optimal inilah yang ditawarkan oleh ekonomi kerakyatan dibandingkan konsep pemberdayaan sempit perekonomian pro kemiskinan.

Friday, June 5, 2009

Ekonomi Rakyat, Ekonomi Pro-Poor dan Ekonomi Liberal: Sebuah Jargon Politik

(1) Debat tentang sistem ekonomi neoliberal versus kerakyatan yang diikuti oleh salah satu cawapres di sebuah TV BUMN pada kamis malam akhir bulan mei lalu mengerucut pada satu hal yaitu peran pemerintah. Hal tersebut patut disayangkan karena menunjukkan kekurangpahaman terhadap topik debat tersebut khususnya ekonomi kerakyatan. Sesungguhnya inti debat antara jargon ekonomi kerakyatan dan ekonomi neoloberal tidak boleh dibatasi pada debat tentang peran negara dan pasar dalam perekonomian. Ungkapan tentang peran negara sebagai wasit dalam perekonomian merujuk pada buku terkenal milik Milton Friedman Capitalism and Freedom. Dalam buku tersebut negara dianalogikan sebagai wasit yang memiliki peran sebagai institusi yang menjamin efektivitas peraturan perundangan dalam negara melalui penegakan hukum.

(2) Negara dalam buku tersebut juga tidak boleh memberi keuntungan pada satu pihak relatif terhadap pihak lainnya. Seperti layaknya dalam pertandingan sepakbola, seorang wasit dilarang salah memberi keputusan, karena dapat merugikan salah satu kubu dan akan menguntungkan kubu yang lain. Bahkan seorang wasit(negara) tidak boleh dengan tidak sengaja mengenai bola ketika seorang pemain kubu tertentu mengumpan bola.

(3) Langkah ekstrem ini selanjuntya dituangkan dalam bentuk konsensus Washington yang ternama tersebut. Konsensus Washington merupakan jawaban awal tata dunia baru (pada saat itu) pasca runtuhnya komunisme Uni Soviet. Sejak era itu, tata dunia baru termasuk ekonomi dikelola secara kolektif oleh seluruh negara melalui lembaga multilateral berupa Bank Dunia dan IMF. Konsensus Washington adalah tonggaknya. Jika kemudian konsensus ini condong ke sistem ekonomi liberal disebabkan beberapa best practices mengikuti sistem ekonomi Inggris dan Amerika selama pemerintahan Ronald Reagen dan Margaret Thatcher. Ciri negara sebagai wasit memang cukup kental di sini.

(4) Marilah kita beralih pada Ekonomi Kerakyatan yang sempat bermetamorfosis menjadi Ekonomi Pancasila. Sistem ekonomi ini merupakan sistem perekonomian yang sangat Indonesia. Definisi ini saat ini mulai dikaburkan dengan pendapat yang menyamakan ekonomi kerakyatan dengan pro poor policy. Pro-poor policy merupakan kebijakan yang masih sangat dangkal dibandingkan dengan ekonomi kerakyatan. Pro poor hanya berusaha mengentaskan masyarakat dari jurang kemiskinan. Hal tersebut cukup dialkukan dengan mengurangi beban konsumsi masyarakat. Harga distabilkan, ada kompensasi seperti BLT adalah beberapa caranya. Logikanya untuk menaikkan C masyarakat dengan kombinasi barang konsumsi cara untuk mengangkatnya dari jurang kemiskinan adalah menstabilkan p, meningkatkan aksesibilitas q dengan BOS, biaya kesehatan murah dll. Pro poor secara umum masih berada di ranah itu.

(4a)Hal tersebut berbeda dengan ekonomi kerakyatan. Perbedaan terletak sistem ini merupakan ciri khas bangsa Indonesia. Pemikiran ini oleh ekonom-ekonom Indonesia yang dilembagakan secara formal dalam pasal 33 UUD 1945 (sebelum perubahan). Dalam hal ini perekenomian Indonesia di susun oleh tiga aspek penting yaitu koperasi (pasal 33 ayat-1), BUMN (pasal 33 ayat-2) dan pengelolaan kekayaan alam oleh negara (pasal 33 ayat 3). Oleh karena itu, ekonomi kerakyatan tidak boleh direduksi hanya dengan membahas BUMN.

(5) Selain pembahasan tentang BUMN, hal yang tidak kalah pentingnya adalah implementasi kekuatan rakyat lewat media koperasi. Ada pemberdayaan masyarakat lewat media koperasi. Terlepas dari kelebihan dan kelemahannya, koperasi merupakan jelamaan kekuatan penting rakyat Indonesia yang nir-modal dalam berperan serta dalam percaturan perekonomian Indonesia. Pasar persaingan yang tidak sempurna dengan kecenduran monopolistik hanya bisa ditandingi lewat koperasi. Unsur pemberdayaan rakyat terletak di sini. Hal tersebut lebih luas dibandingkan kebijakan pro-poor yang diagung-agungkan itu. Jika dilihat dari aspek normatif dibandingkan dengan jenis badan usaha lainnya, koperasi merupakan badan usaha yang menjadi ciri khas Indonesia sebagai sebuah bangsa. Terlepas dari definisi nilai-nilai bangsa Indonesia, institusi-institusi yang terdapat dalam koperasi dinilai merupakan representasi nilai-nilai yang menjadi ciri khas bangsa Indonesia.

(6) Hal tersebut tampak dari definisi koperasi sebagai badan usaha yang pemilik dan anggotanya juga merupakan pelanggan badan usaha tersebut (Ropke, 1987). Sementara itu, Hanel (1989) mendefinisikan koperasi sebagai organisasi yang bertujuan memberikan profit kepada anggota melalui kegiatan ekonomi yang dilaksanakan secara bersama.

(7) Berdasarkan konsep inilah miniatur sistem perekonomian Indonesia berupa suatu usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan ditunjukkan oleh badan usaha koperasi. Dalam sistem perekonomian Indonesia karakter khas koperasi dibandingkan dengan badan usaha lainnya menjadikan koperasi sebagai badan usaha yang secara normatif penting dalam pencapaian kesejahteraan rakyat. Implementasi peran koperasi terhadap perekonomian di Indonesia pada umumnya dan masyarakat pada khususnya tertuang pada UU No.25/1992 tentang koperasi.

(8) Ekonomi kerakyatan masih memiliki ciri yang lain yang ada pada pasal 33 ayat 3, pengelolaan bumi, air dan kekayaan yang ada didalamnya secara optimal harus bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Namun, sejauh ini pengelolaan itu belum optimal dalam mensejahterakan rakyat. Hal tersebut disebebakan oleh satu hal penting yaitu menyandarkan diri pada harga internasional padahal berdagang dengan negeri sendiri. Dasar paradigma tersebut diambil dengan tujuan untuk menjunjung tinggi prinsip-prinsip perdagangan bebas dengan berusaha menghindari pemberian subsidi berlebihan pada sektor domestik.

(9) Dalam perekembangannya prinsip-prinsip perlindungan terhadap industri domestik merupakan isu yang tidak kunjung selesai dalam pembahasan perundingan organisasi perdagangan dunia (WTO). Beberapa negara maju yang ditengarai mengusung sisitem neoliberal juga tidak mengimplementaisknnya secara konsekuen. Namun hal tersebut berbeda dengan Indonesia, prinsip menyandarkan harga kebutuhan domestik (BBM misalnya) pada harga internasional justru kontradiktif terhadap upaya penguatan sektor domestik. Hal tersebut disebabkan oleh tidak adanya upaya struktural untuk meningkatkan daya saing. Usaha untuk mencapai kesejahteraan rakyat seperti jauh panggang dari api.

(10) Berdasarkan uraian tersebut, mendebatkan jargon ekonomi neoliberal dengan ekonomi kerakyatan yang mengerucutkan permasalahan pada revitalisasi peran negara justru merupakan upaya mereduksi arti ekonomi kerakyatan sendiri. Pasal 33 yang seharusnya menjadi dasar sistem ekonomi kerakyatan tidak dapat diintepretasikan hanya sebagai upaya penguatan peran negara. Di sisi lain, jaminan hak dan kewajiban aktivitas ekonomi yang seimbang antara pelaku ekonomi perlu dilakukan oleh negara. Kombinasi yang baik antara peran negara sebagai wasit yang patuh terhadap konstitusinya dalam seluruh aspek aktivitas ekonomi harus selaras dengan konsistensi mengutamakan kesejahteraan rakyat yang disertai diplomasi ekonomi internasional yang kuat. Kondisi inilah yang seharusnya dapat diciptakan sehingga debat tidak akan hanya menjadi jargon dangkal dalam kampanye pemilihan presiden dan wakil presiden Indonesia 2009-2014.


Thursday, February 19, 2009

The Worst Economic and Financial Crisis Since the Great Depression Reveals the Weaknesses of the Laissez Faire Anglo-Saxon Model of Capitalism

from Nouriel Roubini:

It is now clear that this is the worst financial crisis since the Great Depression and the worst economic crisis in the last 60 years. While we are already in a severe and protracted U-shaped recession (as the deluded hope of a short and shallow V-shaped contraction has now evaporated) there is now a rising risk that this crisis will turn into an uglier multi-year L-shaped Japanese style stag-deflation (a deadly combination of stagnation, recession and deflation). The latest data on Q4 2008 GDP growth (at an annual rate) around the world are even worse than the first estimate for the US (-3.8%): -6.0% for the Eurozone; -8% for Germany; -12% for Japan; -16% for Singapore; -20% for Korea. The global economy is now literally in free fall as the contraction of consumption, capital spending, residential investment, production, employment, exports and imports is accelerating rather than decelerating.

To avoid this L-shaped near-depression a strong, aggressive, coherent and credible combination of monetary easing (traditional and unorthodox), fiscal stimulus, proper clean-up of the financial system and reduction of the debt burden of insolvent private agents (households and non-financial companies) is necessary in the US and other economies.

Unfortunately, the Eurozone is well behind the US in its policy efforts as: a) the ECB is behind the curve in cutting policy rates and creating non-traditional facilities to deal with the liquidity and credit crunch; b) the fiscal stimulus is too modest as those who can afford it (Germany) are lukewarm about it and those who need it the most (Spain, Portugal, Greece, Italy) can least afford it as they already have large budget deficits; c) there is lack of cross-border burden sharing of the fiscal costs of bailing out financial institutions.

The U.S. has done more (with its aggressive monetary easing and large fiscal stimulus putting it ahead) but two key elements are key to avoid a near-depression and still seriously missing: a proper clean-up of the banking system that may require a proper triage between solvent and insolvent banks and the nationalization of many banks, even some of the largest ones; and a more aggressive and across-the-board reduction unsustainable debt burden of millions of insolvent households (i.e. principal reduction of the face value of the mortgages, not just mortgage payments relief).

Moreover, in many countries the banks may be too-big-to-fail but also too- big-to-save, as the fiscal/financial resources of the sovereign may not be large enough to rescue such large insolvencies in the financial system.

Traditionally only emerging markets suffered – and still suffer - from such a problem. But now such sovereign risk – as measured by the sovereign spread - is also rising in many European economies whose banks may be larger than the ability of the sovereign to rescue them: Iceland, Greece, Spain, Italy, Belgium, Switzerland and, some suggest, even the UK.

The process of socializing the private losses from this crisis has already moved many of the liabilities of the private sector onto the books of the sovereign: banks, other financial institutions and, soon enough possibly, households and some important non-financial corporate companies.
At some point a sovereign [bank] may crack, in which case the ability of governments to credibly commit to act as a backstop for the financial system – including deposit guarantees – could come unglued.Thus, the L-shaped near-depression scenario is still quite possible – I assign to it a 30% probability - unless appropriate and aggressive policy action is undertaken by the US and other economies.This severe economic and financial crisis is now also leading to a severe backlash against financial globalization, free trade and the free markets economic model.


But, to paraphrase Churchill, capitalist market economies open to trade and financial flows may be the worst economic regime, apart from the alternative, as non-market economy models have failed.

However, while this crisis does not imply the end of market economy capitalism it has shown the failure of a particular model of capitalism: the laissez faire unregulated (or aggressively deregulated) wild-west model of free market capitalism with lack of prudential regulation and supervision of financial markets and with the lack of proper provision of public goods by governments.

It is the failures of ideas such as the “efficient market hypothesis” that deluded itself about the absence of market failures such as asset bubbles; the “rational expectations” paradigm that clashes with the insights of behavioral economics and finance; the “self-regulation of markets and institutions” that clashes with the classical agency problems in corporate governance that are themselves exacerbated in financial companies by the greater degree of asymmetric information -how can a chief executive or a board monitor the risk-taking of thousands of separate profit-and-loss accounts? Then there are the distortions of compensation paid to bankers and traders.

This crisis also shows the failure of ideas such as the one that securitization reduces systemic risk rather than actually increase it; that risk can properly priced when the opacity and lack of transparency of financial firms and new instruments leads to unpriceable uncertainty rather than priceable risk.

It is clear that the Anglo-Saxon model of supervision and regulation of the financial system has failed. It relied on self-regulation that, in effect, meant no regulation; on market discipline that does not exist when there is euphoria and irrational exuberance; on internal risk management models that fail because – as a former chief executive of Citi put it – when the music is playing you gotta stand up and dance.

Furthermore, the self-regulation approach created rating agencies that had massive conflicts of interest and a supervisory system dependent on principles rather than rules. This light-touch regulation in effect became regulation of the softest-touch.

Thus, all the pillars of Basel II have already failed even before being implemented. Since the pendulum had swung too much in the direction of self-regulation and the principles-based approach, we now need more binding rules on liquidity, capital, leverage, transparency, compensation and so on.

But the design of the new system should be robust enough to counter three types of problems with rules: A tendency toward ‘regulatory arbitrage’ should be borne in mind, as bankers can find creative ways to bypass rules faster than regulators can improve them. Then there is ‘jurisdictional arbitrage’ as financial activity may move to more lax jurisdictions. And finally, ‘regulatory capture’ as regulators and supervisors are often captured - via revolving doors and other mechanisms - by the financial industry. So the new rules will have to be incentive compatible, i.e. robust enough to overcome to these regulatory failures.

disclaimer only internal use..

Monday, January 26, 2009

Memparipurnakan Evolusi Ekonomi Indonesia

Krisis ekonomi adalah proses penyesuaian suatu struktur perekonomian dalam proses evolusinya. Krisis ekonomi mendorong adanya koreksi dari beberapa ekonom sebagai mekanisme adaptasi alamiah untuk memperbaiki “kinerja” perekonomian saat ini. Setiap koreksi merupakan bagian dari proses penyesuaian perekonomian Indonesia terhadap perubahan lingkungan.

Serupa dengan evolusi alamiah mekanisme koreksi dapat berupa proses anagenesis dan cladeogenesis. Pendekatan koreksi terhadap bagian-bagian tertentu dalam suatu sistem perekonomian serupa dengan proses cladeogenesis. Hal ini tampak jelas dalam perekonomian Indonesia pasca krisis 1998. Sementara, pendekatan koreksi terhadap sistem sampai dengan landasan epistimologis ilmu ekonomi merupakan proses koreksi yang serupa dengan proses anagenesis. Kondisi ini pernah terjadi pada peralihan sistem ekonomi orde lama ke orde baru.

Umumnya para ekonom yang masih mempercayai prinsip-prinsip ekonomi ortodoks yang menempatkan manusia sebagai makhluk ekonomi yang rasional menggunakan pendekatan pertama dalam melakukan koreksi terhadap perekonomian. Koreksi terhadap perekonomian dalam pendekatan ini diprioritaskan untuk memperbaiki kinerja sistem perekonomian tanpa meninggalkan prinsip-prinsip dasar homoeconomicus dalam implementasinya. Perbaikan institusi perekonomian baik infrastruktur maupun suprastruktur perekonomian menjadi jalan utama dalam mengkoreksi perekonomian dari krisis ekonomi.

Pendekatan kedua dilakukan melalui pendekatan yang mengkoreksi prinsip-prinsip dalam sistem perekonomian namun juga terhadap metodologi ilmu ekonomi. Para ekonom dengan yang menggunakan pendekatan ini umumnya menolak asumsi rasionalitas yang melekat secara inheren pada mazhab ekonomi ortodoks. Contoh terkini bagaimana implementasi pendekatan kedua ini adalah pembentukkan Grameen Bank di Bangladesh.

Apa yang terjadi di Grameen Bank serupa dengan yang pernah dirintis oleh para ekonom seperti Mubyarto, Dawam Rahardjo dan Sri Edi Swasono. Para ekonom tersebut memiliki perspektif berbeda tentang cara perekonomian Indonesia bekerja dengan metode yang “sangat Indonesia” dan berbeda dengan metode rasionalitas dalam ilmu ekonomi ortodoks. Pendekatan alternatif ini dalam beberapa publikasi dikenal dengan ekonomi pancasila dan demokrasi ekonomi. Dua pendekatan heteorodoks ini diperkenalkan oleh dua ekonom senior dari dua Fakultas Ekonomi terpandang di negeri ini.

Berdasarkan konteks di atas pertanyaan tentang posisi ilmu ekonomi ortodoks maupun heterodoks dalam proses keparipurnaan evolusi ekonomi Indonesia menjadi relevan. Sebelum menjawabnya tidak ada salahnya jika kita melihat kondisi saat ini perekonomian Indonesia. Kondisi saat ini perekonomian Indonesia yang sering pula disebut oleh sebagai hadiah-hadiah masa lalu dari seluruh proses evolusi baik secara anagenesis maupun cladeogenesis. Anagenesis terjadi pada saat perubahan perekonomian orde lama ke orde baru, sementara koreksi sistem perekonomian pasca krisis tahun 1998 menggambarkan cladeogenesis pada perekonomian Indonesia. Selain kondisi saat ini, hal yang tidak kalah pentingnya untuk dipertimbangkan adalah potensi dan lingkungan ekonomi Indonesia di masa depan.

Pada situasi seperti inilah ada baiknya kita melihat bagaimana perkembangan aplikasi ilmu ekonomi heteodoks yang digagas oleh Muhammad Yunus di Bangladesh melalui Grameen Banknya. Dalam berbagai catatan perkembangan Grameen Bank-nya terdapat salah satu simpulan penting yang dapat diangkat yaitu Muhammad Yunus meskipun belum mampu mengembangkan ilmu ekonomi heterodoks yang sesuai dengan negaranya namun beliau mampu mengembangkan aplikasi ilmu ekonomi heterodoks di Bangladesh. Proses tersebut tidak terlepas dari adaptasi baik yang dilakukan oleh Muhammad Yunus melalui pengenalan terhadap kondisi internal masyarakatnya yang memiliki struktur asumsi berbeda dengan struktur masyarakat dalam ilmu ekonomi heterodoks.

Lalu bagaimana dengan Indonesia? Ada baiknya para ekonom mulai lebih jernih dalam melihat persoalan perekonomian Indonesia. Setiap ekonom harus mampu keluar dari kotak mazhab mereka masing-masing dalam melihat karakter pelaku ekonomi di Indonesia yang masih terdiri dari pelaku sektor modern dan sektor tradisional yang saling diklaim oleh para ekonom ortodoks maupun heterodoks terdapat dalam struktur ekonomi yang terpisah satu dengan yang lain. Hal tersebut dikonfirmasi oleh data statistik yang menunjukkan bahwa lebih dari 50% masyarakat Indonesia bekerja di sektor pertanian yang menyumbang tidak lebih dari 30% dari produktivitas nasional saat ini.

Kondisi di atas secara gamblang menunjukkan bahwa anagenesis yang terjadi dalam perekonomian Indonesia tidak terjadi secara sempurna. Proses anagenesis perekonomian Indonesia terjadi secara sektoral atau dapat dianalogikan terjadi hanya pada bagian kepala dan tenggorokan. Kondisi tersebut pasca tahun 1998 ternyata mengalami proses cladeogenesis yang cepat sehingga membentuk kondisi perekonomian Indonesia seperti saat ini. Sementara bagian dada, perut dan organ lain dalam perekonomian Indonesia tampak hanya mengalami cladeogenesis dari struktur perekonomian Indonesia di awal kemerdekaan.

Sejauh ini solusi yang ditawarkan oleh para ekonom ortodoks belum optimal mendorong proses anagenesis perekonomian Indonesia untuk serupa dengan kondisi lingkungan ekonomi baik regional Asia maupun global. Sementara di sisi lain para ekonom heterodoks masih berusaha mempertahankan bentuk struktur tubuh perekonomian Indonesia sama seperti kondisi di awal kemerdekaan yang diklaim sebagai kondisi ideal ekonomi Indonesia. Pencegahan terhadap proses anagesis menjadi salah satu jalan dalam mempertahankan kondisi ideal ini.

Pada situasi di atas diperlukan kearifan dari setiap unsur untuk menentukan arah perekonomian Indonesia apakah akan menyesuaikan diri secara total atau berproses anagenesis atau akan melakukan proses cladeogenesis. Hal ini menjadi suatu agenda besar yang harus diselesaikan oleh setiap pemimpin dan seluruh ekonom di negeri ini dalam memparipurnakan proses evolusi ekonomi Indonesia.

Thursday, January 22, 2009

All stories about cut down energy prices in Indonesian Economy:

  1. What comes next after cutting energy prices? from The Jakarta Post: http://www.thejakartapost.com/news/2009/01/16/what-comes-next-after-cutting-energy-prices.html
  2. Indonesia economy: Price cuts from Economist Intelligence Unit; http://www.eiu.com/index.asp?layout=VWArticleVW3&article_id=124144197&country_id=1810000181&page_title=Latest+analysis&rf=0
  3. Danareksa: Can Indonesian consumers save the day? from The Jakarta Post ; http://www.thejakartapost.com/news/2009/01/22/danareksa-can-indonesian-consumers-save-day.html

Thursday, January 15, 2009

Five Recent Indonesia Economic Issues: Second Week of January

1. 72% of Standby Loan to Patch Up Deficit : http://www.bisnis.com/servlet/page?_pageid=127&_dad=portal30&_schema=PORTAL30&vnw_lang_id=1&ptopik=ENG&cdate=15-JAN-2009&inw_id=649463
2. Stimulus Lowered to IDR27 Trillion 14 Industry Sectors Cancelled to Receive VAT Relief from Govt : http://www.bisnis.com/servlet/page?_pageid=127&_dad=portal30&_schema=PORTAL30&vnw_lang_id=1&ptopik=ENG&cdate=15-JAN-2009&inw_id=649472
3. Calls to ease foreigners’ real estate rules in Indonesia : http://www.property-report.com/em_top_stories.php?id=2196&date=140109
4. Asian Rate Cuts, Spending to Propel Recovery, Economists Say : http://www.bloomberg.com/apps/news?pid=newsarchive&sid=a40jWwdXQDC8
5. Indonesia economy: Outlook - Growth to slow as capital inflows dry up : http://www.eiu.com/index.asp?layout=VWArticleVW3&article_id=944147079&country_id=1810000181&page_title=Latest+analysis&rf=0

Tuesday, January 13, 2009

Free Market Myth by Dean Baker

Regulation is everywhere. Let’s choose who benefits.

The extraordinary financial collapse of recent months has been commonly described as a testament to the failure of deregulation. The events are indeed testament to a failure—a failure of public policy. Blaming deregulation is misleading.

In general, political debates over regulation have been wrongly cast as disputes over the extent of regulation, with conservatives assumed to prefer less regulation, while liberals prefer more. In fact conservatives do not necessarily desire less regulation, nor do liberals necessarily desire more. Conservatives support regulatory structures that cause income to flow upward, while liberals support regulatory structures that promote equality. “Less” regulation does not imply greater inequality, nor is the reverse true.

Framing regulation debates in terms of more and less is not only inaccurate; it hugely biases the argument toward conservative positions by characterizing an extremely intrusive structure of, for example, patent and copyright rules, as the free market. In the realm of insurance and finance over the last two decades, calls for deregulation have been cover for rules tilted starkly toward corporate interests. And the recent change in bankruptcy law, hailed by conservatives, requires much greater government involvement in the economy.

False ideological claims have circumscribed the public debate over regulation and blinded us to the wide range of choices we can make. Without these claims, what would guide regulatory policy? What kinds of choices would we have?

* * *

Patent and copyright protection are good examples of government policies obscured in the debate. They are forms of regulation, not elements of a “free market.”

It does not matter that we call patents and copyrights “property” or even that we have a clause in the Constitution that authorizes Congress to grant patents and copyrights. Suppose autoworkers were given a property right to a job in the automobile industry, a right they could even sell. Would anyone say that this right to a job is part of the free market?

Patents and copyrights are government-granted protections designed for a specific public purpose, as stated in the Constitution: “to promote the Progress of Science and useful Arts.” But granting intellectual property rights is one of many possible mechanisms for accomplishing this important public goal. Whether patents and copyrights are the most effective mechanisms for the promotion of the arts and sciences is an empirical question. And the answer could be different depending on the specific social and economic circumstances. However, we cannot have a serious discussion of the relative merits of patents and copyrights until we recognize that these are public policies and not intrinsic features of the free market. Debates about both patent and copyright have been hugely distorted by the failure to recognize this obvious fact.

In the case of patent protection, policy disputes arise most frequently with regard to prescription drugs. If drugs were sold in a competitive market (i.e., without patent protection), the overwhelming majority of drugs would sell for just a few dollars per prescription. Wal-Mart and other major drug store chains now sell most generic drugs for less than $10 per prescription—we know these drugs can be manufactured safely and sold profitably at low prices.

The drugs available as generics are not chemically distinct from their brand-name counterparts that often sell for hundreds of dollars per prescription. The only difference is that the latter, as a group, enjoys a government-guaranteed monopoly. Patents constitute a government policy that effectively raises drug prices by several thousand percent above the free market price.

Recognizing this should be the starting point in any policy debate. The next question is whether this policy for supporting innovation is the best mechanism for financing the research and development of new drugs. It clearly is not the only one.

The government could, for example, support drug research through a prize system in which it buys drug patents and then places them in the public domain so that newly developed drugs could be manufactured and sold as generics.

Alternatively, the government could pay for the research upfront and make all research findings and patents fully public. It already spends $30 billion a year financing biomedical research through the National Institutes of Health, an amount almost as high as the pharmaceutical industry claims to spend on its research. NIH research is highly respected, with almost all observers agreeing that the money is, on the whole, extremely well spent. While the NIH focuses on basic research (it also does some later-stage drug research, including clinical testing), there is no obvious reason why the government could not simply double its commitment to biomedical research in order to replace the research and development currently supported by grants of patent monopolies.

But the government may wish to use a different mechanism to encourage drug development. It may choose to establish a small number of master contractors, who would then contract out the awarding of research funds so as to minimize the potential for political interference. Regardless of the structure a particular program would take, expansion of direct funding is clearly feasible.

There would also be large public benefits in addition to lowering the price of drugs to their marginal cost. Eliminating huge monopoly rents associated with drug patents would take away the incentive for drug companies to push drugs in cases where they may not be especially beneficial, or even potentially harmful. Nor would there be incentive to conceal research findings that indicate a drug’s weak performance. Furthermore, by placing all research findings in the public domain, so that scientists can quickly benefit from the research done by others, the process of drug innovation would likely accelerate.

Whether a patent-buyout system or direct public funding would be preferable to the current patent system is obviously debatable; the point is that patent is just one mechanism among many that could facilitate prescription-drug research. And it is one that involves granting monopoly rents to large drug companies.

It is important to establish that patents are a form of regulation because there are many venues in which the regulation of prescription drugs has been a major issue, with those who would see prices fall cast as opponents of the free market. For example, the ongoing push to have Medicare bargain for lower prices for drugs bought as part of its prescription drug benefit is widely viewed as interference in the free market. Even The New York Times and other highly respected media outlets often present the argument about Medicare-negotiated drug prices as a debate between proponents of free markets and of government intervention. When we sweep away ideology, we see that it is a debate between two regulatory strategies for keeping drug prices down.

* * *

There is a similar story with copyrights, although the economic waste is even larger and the enforcement measures even more perverse. In the Internet age, almost any printed or recorded material—music, movies, books, video games—can be instantly transferred anywhere in the world at almost no cost. However, rather than allowing the public to enjoy the full benefit of this technology, the government has created a dizzying array of new laws and restrictions designed to make it more difficult, and legally more risky, to pass along material that is subject to copyright protection.

As with drug patents, copyrights serve an important public purpose. They provide an incentive to produce creative and artistic work. But to protect copyright, the government has imposed an aggressive sanction regime even for seemingly minor offenses. In one case, a woman in Minnesota faced a fine of more than $200,000 for allowing people to download music from her computer. Universities have been told to police dorm rooms to ensure that students are not downloading material in violation of copyright, and they have been encouraged to conduct classes teaching that it is wrong to make unauthorized copies of copyrighted material.

The government has repeatedly prohibited the production of various types of hardware until protections could be installed to prevent the duplication of copyrighted material. It has banned the development of software that can break through copyright protections. In one case a Russian computer scientist was arrested by the FBI after a conference presentation in which he described a way to get around a form of copyright protection.

The list of extraordinary government measures that have been developed to enhance copyright protection is lengthy. Remarkably, these measures are never described as forms of government regulation. They are treated as enforcement measures necessary to protect copyright. However, just as patents are not the only way to encourage innovation, a government-granted monopoly with extensive rules and heavy-handed enforcement is not the only way to promote creativity.

A vast amount of creative and artistic work is already supported through mechanisms that do not depend on copyright protection. Private foundations are a major alternative source of support, as are the limited funds available through public programs such as the National Endowments for the Arts and Humanities. Colleges and universities are probably the largest source of funding not dependent on copyright. Professors are expected to do research and writing in addition to their teaching responsibilities.

It is easy to envision mechanisms to expand support for creative and artistic work outside the copyright regime. For example, it would be possible to design a modest tax credit for individuals who either support creative work directly or contribute to organizations that support such work. The credit could be modeled after the tax deduction for nonprofits or charities. Even a modest tax credit (e.g., $100 per person)—which taxpayers could allocate to an artist, writer, musician, or film producer of their choice—would likely be sufficient to fund almost all of the work currently supported by the copyright system.

Alternatives to copyright are feasible and probably far more efficient than the copyright system. And they would replace a gigantic array of enforcement measures that can themselves be seen as unnecessary forms of government intervention into the economy.

* * *

A final example of excessive government regulation, never discussed as such, is the bankruptcy-reform bill that passed Congress in 2005. This bill substantially strengthened the conditions imposed on people seeking bankruptcy protection, making such protection a much less attractive option.

The public debate over the bill dealt in liberal/conservative caricatures that completely misrepresented what was at stake. The liberal argument relied on sympathy for the people seeking bankruptcy; it drew on studies showing that the great majority of people seeking bankruptcy had not been spendthrifts who deliberately ran up huge credit card debts, but rather had fallen on hard times as result of job loss, medical emergencies, or family breakup. The opponents of stricter conditions argued that these people needed and deserved the break that bankruptcy allows.

The conservative argument centered on individual responsibility. No one forced anyone to take on debt; these people voluntarily chose to do so. Everyone knows that bad things can happen. Those seeking bankruptcy protection should have taken precautions.

This version of bankruptcy reform undoubtedly resonated with those inclined to accept that people succeed or fail largely as a result of their own actions, but, most importantly, it obscured the real issue that the bill addressed: to what lengths should the government go to collect unpaid bills? The party seeking the aid of the government in this story is the creditor, not the debtor.

Under the preexisting bankruptcy law, creditors could lay claim to most of the debtors’ assets and in some cases place liens on future earnings. The new law hugely expanded the creditors’ claims on future earnings. This means that the government will be far more involved in bill collection in the future than it has been in the past, possibly monitoring the wages of millions of individuals in bankruptcy who still have debts to creditors. (For those who worry about the negative incentives caused by taxation, it is worth noting that having money deducted from paychecks to pay creditors provides the same disincentive to work.)

The individual-responsibility line could have been applied just as validly to the creditors in this story as it was the debtors. Part of being a successful business involves knowing under what circumstances to extend credit. No one forced businesses to extend credit to the people who subsequently declared bankruptcy. They exercised bad judgment in extending credit to people who were not good credit risks. Why should the government step in to help businesses that fail to assess credit risk? The ideological battle around the bill was a distraction. It was an effort to get the government more actively involved in helping the banks. It’s that simple.

Other cases in which the conservative position arguably requires more government involvement in the economy than the liberal position abound. For years Ben and Jerry’s Homemade has fought attempts by state governments to ban labeling dairy products as free of recombinant bovine growth hormone. Some pressure groups associated with the dairy indutry argue that the rBGH-free label implies that bovine growth hormones are harmful, which has not been established by the Food and Drug Administration. Of course, Ben and Jerry’s Homemade is not trying to prevent its competitors from assuring the public that their ice cream is safe. It is trying to make a truthful claim about its own ice cream.

In the same vein, the Department of Agriculture (USDA) recently prohibited a meatpacker from testing its cattle for mad cow disease. The meatpacker had intended to privately test all of its cattle, whereas the USDA tests only 1 percent of cattle. But the USDA, arguing that full testing would cause the public to question the safety of other meat, moved to prevent it.

To be fair, rarely does either side argue against regulation as such. The real issue is the structure of regulation and its impact on economic outcomes, especially income distribution.

Let’s return to the financial crisis with this in mind. In the decades preceding the financial collapse, regulations designed to protect the public and to ensure the stability of the financial system were considerably weakened, but the system was (and is) quite far from being deregulated.

The key regulation that remained in place was the “too-big-to-fail” doctrine. Essentially, the banks and other financial institutions took enormous risks with an implicit guarantee that their creditors could count on the protection of the U.S. government if things went badly. For everyone except the creditors of Lehman Brothers and the preferred shareholders of Fannie Mae and Freddie Mac, this gamble proved correct.

This one-sided giveaway was not deregulation. Had those setting financial policy over the last three decades been committed to deregulation, they would have assured financial markets that financial institutions making bad investments would go out of business and that their creditors would be out of luck. The Federal Reserve Board and the Treasury would have warned that investors were acting at their own risk when they put money in Bear Stearns, AIG, and the rest.

In the context of a too-big-to-fail principle, the removal of restrictions on leverage (investment banks were allowed to leverage their capital at a ratio of forty-to-one compared to just ten-to-one for commercial banks) and the relaxation of other prudential regulation (the nominal value of credit default swaps, a new class of derivative instruments, grew to more than $70 trillion in a nearly unregulated market) essentially gave the banks a license to wager with taxpayers’ money.

Banks did exactly what economic theory predicts. They took huge risks, leveraging themselves to the hilt with questionable assets, knowing that they would gain as long as the housing bubble held up. And the banks did so with willing accomplices among pension funds, hedge funds, and other investors because these investors knew that the government would rescue them if things went badly.

Deregulation can be a principled position held by true believers in a free market. But Wall Streeters all wanted one-sided regulation that provided them with an enormous government security blanket without any costs or conditions. None of the Citigroup, Goldman Sachs, J.P. Morgan crew ever went to lobby Congress for an explicit repeal of the too-big-to-fail doctrine. And while many on Wall Street lost their jobs when the bubble burst, the tens or hundreds of millions of dollars that banking executives earned during the good times are theirs to keep. Even with the market collapse, the vast majority of them are almost certainly better off than they would have been had they done honest work over the last decade.

* * *

If the real debate is over the type rather than extent of regulation, then why is it always framed as the latter? For conservatives, the answer is obvious. Many Americans embrace the idea of free markets and hold a deep aversion to government. Faith in government ebbs and flows, even in the most liberal times. It will almost always be advantageous, then, to associate a political position with support of the free market.

It is less apparent why liberals would be so eager to accept such a disadvantageous caricature of their position. The answer requires digging a bit deeper into what their position implies about the nature of the economy and economic outcomes.

Like conservatives, liberals generally acknowledge that people get ahead as a result of their skills and hard work, with some luck thrown in. The main difference in the liberal and conservative views of the economy is that liberals are more likely to believe that many people face serious impediments to their success and do not get the same chance as people from wealthier backgrounds. Liberals are also likely to feel guilty about the difference in opportunities and therefore support political measures that will reduce the gap and help those at the bottom. However, most liberals still accept the proposition that the distribution of income is fundamentally determined by the market rather than political decisions embodied in regulations such as patents, copyrights, and bankruptcy law.

But what if we accept a view that virtually every facet of the economy is shaped by policies that could easily be altered? Investment bankers get incredibly rich because the government gives them the shelter of too-big-to-fail but doesn’t impose any serious prudential regulation in return. Bill Gates gets incredibly rich because, through copyright and patents, the government gives him a monopoly on the operating system that is (or was) used by 90 percent of the computers in the world.

Doctors are well-paid because, unlike less politically connected workers, they enjoy protection from international competition. The same is true for lawyers and other highly paid professionals. The six-figure salaries depend less on skill and hard work than on being able to structure labor markets in ways that autoworkers, textile workers, and cab drivers cannot.

There is a long list of professional licensing requirements (many of which have nothing to do with maintaining quality standards) that make it difficult for foreign professionals to work in the United States. While trade agreements such as the North American Free Trade Agreement have been designed explicitly to eliminate institutional barriers that obstruct investment in developing countries and the free flow of manufactured goods back into the United States, there has been no comparable effort to reduce or eliminate the barriers that obstruct highly educated professionals in the developing world from practicing their professions in the United States. Many ambitious professionals from the developing world do manage to overcome these barriers, but professionals in the United States still enjoy a far greater level of protection from international competition than less highly-educated workers.

* * *

The less-versus-more framing of regulation supports the premise that there is in principle an unregulated market out there and that some of us wish to rein in this unregulated market while others would leave it alone. This is consistent with the idea that large inequalities in income distribution just happen as a result of market forces. But as the above examples illustrate, no one is really talking about an unregulated market—rather we are all just talking about whom the regulation is designed to benefit. Distribution of income has never preceded the intervention of government.

The government is always present, steering the benefits in different directions depending on who is in charge. Accepting this view provides a political vantage point much better suited to the case for progressive regulation. After all, conservatives want the big hand of government in the market as well. They just want the handouts all to go to those at the top.

This expansive view of regulation puts everything up for grabs, including the six-figure salaries of many of those arguing the liberal position. Do liberals really want everyone asking if we can have the same economic benefits by removing trade barriers in physicians’ and lawyers’ services that we gain by removing barriers to clothes and cars? Liberals, too, are invested in the obfuscation that less-versus-more provides.

Even so, the catastrophe produced by the one-sided deregulation of the financial industry, coupled with a long list of regulatory failures in other areas, will almost certainly lead to a serious rethinking of regulatory policy in the years ahead. It remains to be seen whether this rethinking will go beyond the familiar debate. We know that when we emerge from the current crisis the economy will be extensively regulated. The questions is, to whose benefit?

Disclaimer: This is taken from Boston Reviews

Thursday, January 8, 2009

This is Performance of Asian Export

    This is Overview of Asian Exports' Performance:

  • China: Chinese exports contracted 2% y/y in November, though imports slumped more. Trade surplus $40.2b, the 4th consecutive record monthly trade surplus as commodity prices falls eroded import growth. Processing trade components have shown the sharpest slowing
  • Japan: Exports fell 26.7was down -7.7% yoy in Oct-08 (biggest drop in 7 years), export volume was down -6.1% yoy. Exports to developed nations are expected to fall further and will likely have a negative impact on Japan's already slowing exports to Asia
  • Singapore: Exports fell 17% y/y in November, the seventh month of contraction. Govt expects exports to contract by 4% in 2008; exports fell 5.7% in Sep (-13.9% in Aug) led by electronics, pharma, semiconductors. non-electronics fell -1.9%; exports to EU fell -23.6% and to U.S. fell -24.5%
  • Taiwan: Exports contracted sharply in November plunging about 20% y/y, driven by a sharp drop in exports to other Asian countries since September. All tech exports declined drop in exports to China was particularly sharp (down 40% y/y)
  • Malaysia: Exports fell 2.6% in Oct led by lower electronic and commodity exports after growing 15% in Sep. Export growth moderated in Q3 but stayed firm at 16.9% (Q208: 20.8%) due to high exports price and sustained demand of resource-based products; global slowdown, easing oil, commodity prices pose risk to commodity exports and current a/c surplus
  • S.Korea: Korean exports contracted 17% y/y in November, the second month of double digit contraction. Korean government expects only 1% export growth in 2009. Slowing IT, semiconductor exports; export growth led by price not volume gains; oil prices will lead to current a/c deficit this year
  • Hong Kong: volume of domestic exports fell -24.1% in July, re-exports rose 8.8%, volume of total exports rose 7.3%, volume of imports rose 10.9%; exports to U.S. and Japan and also China declining.
  • Thailand: Contribution of net exports to GDP might fall to 13% in 3Q08 from 16% in 2Q08. Export volume might grow 6.2% yoy Q3 from 9% yoy in 1H08
  • Philippines: Jan-Jul trade deficit rose over 200% y/y on oil, rice and steel costs; resilience of non-electronic exports due to price than volume effects; commodity correction pose downside risk to non-electronics primary goods exports
  • Indonesia: Exports fell 11.61% in Oct on declining oil and gas exports (-25.72%) as well as non-oil and gas exports (-8%); exports to China, India helping offset weakness in U.S. In Jan-Oct, exports increased 26.92% y/y. Exports slowed to 14.3% y/y in Q3
  • Vietnam: Export turnover falling on decreasing crude, coal, and rice prices; Weak sales in apparel, coffee, seafood slowed exports to U.S. but exports as a whole increased 39% in Sep (fastest growth since 2005)
  • India: Exports growth declined -12.1% y/y in Oct (first time since 2001) amid US and EU recession after growing 10.4% in Sep and 30.9% in H1-08. Earnings of IT exporting companies hit on U.S. slowdown as U.S. (financial) companies (a/c for 60% of service exports) slow their IT spending

Some Issues About January's BI rate

There are some Issues after BI lowering the rate:

  1. Indonesia Cuts Interest Rate by Surprise Half Pointfrom bloomberg : http://www.bloomberg.com/apps/news?pid=newsarchive&sid=aVt6PEEAp1AM
  2. BI Rate Lowered 50 bps to 8.75% from Bank Indonesia: http://www.bi.go.id/web/en/Ruang+Media/Siaran+Pers/sp_110109.htm
  3. Indonesia: Looking At More Rate Cuts Ahead from UOB: http://www3.uobgroup.com/assets/pdfs/Flash_0107.pdf


Tuesday, January 6, 2009

Five Recent Indonesia Economic Issues: First Week of January 2009

  1. Indonesia`s measures to fight global slowdown from Antara : http://www.antara.co.id/en/arc/2009/1/6/indonesias-measures-to-fight-global-slowdown/
  2. Global Economic Outlook from HSBC: http://www.vietstock.com.vn/eDocs/book.aspx?id=684
  3. Emerging Market Daily from Citigroup: https://www.citigroupgeo.com/pdf%2fSAP23359.pdf
  4. Indonesia Inflation Slows from Wall Street Journal: http://online.wsj.com/article/SB123118198241054545.html?mod=rss_whats_news_asia
  5. Indonesia to spend savings to boost economy from Financial Times : http://www.ft.com/cms/s/4a06a124-db84-11dd-be53-000077b07658,Authorised=false.html?_i_location=http%3A%2F%2Fwww.ft.com%2Fcms%2Fs%2F0%2F4a06a124-db84-11dd-be53-000077b07658.html%3Fnclick_check%3D1&_i_referer=http%3A%2F%2Fwww.rgemonitor.com%2F397&nclick_check=1

Isu-isu Ekonomi Global Minggu Pertama Tahun 2009

Catatan isu ekonomi global ini diperoleh dari berbagai sumber, tapi Nouriel Roubini merupakan kontributor terbesarnya:

Isu-isu ekonomi global dalam minggu ini tersebut antara lain yaitu:

  1. Global Economic, Financial And Political Outlook
  2. U.S. Payrolls Continue To Shrink As Lay-Offs Witness A 1970s Type Trend
  3. U.S. Auto Sector Woes Worsen On Plunging Auto Sales
  4. U.S. Service Sector Continues To Take A Hit From The Recession
  5. Obama's Large Stimulus Plan: Tax Cuts, Aid For States To Play Pivotal Role
  6. Canadian Unemployment: Will It Rise Dramatically?
  7. Fiscal Reform In Brazil
  8. UK: Nationwide Price Index: Expected To Continue To Slide From -13.9% To -14.6%
  9. Boe Rate Decision – Market Is Waiting For A 50bps Cut From 2.0% To 1.5%
  10. Question Mark Over Bulgaria's Economy: Strengths And Weaknesses
  11. Risks Rising In Poland, But Economy Still Strong Compared To Regional Peers
  12. Should The IMF Have Required Devaluation In Latvia?
  13. Czech Republic Assumes EU Presidency: Is It Up To The Challenge?
  14. Ukraine-Russia Gas Crisis: Gas Shortages Spread Across Europe
  15. Russia: Crisis Affecting Migrant Workers
  16. Kosovo In Limbo: Ethnic Violence On The Rise
  17. India Continues With Fiscal And Monetary Stimulus Packages As Risks To The Economy Grow
  18. Political Risk Exacerbating Crisis Response?
  19. Political Risk In Asia
  20. Strategic Petroleum Reserves And Oil Price
  21. GCC And Oil Exporter Surpluses
  22. Chinese Fiscal Stimulus: How Effective?
  23. Russian Inflation
  24. Ukraine’s Plunging Industrial Output And Its Implications
  25. Kazakhstan In 2009 : Further Slowdown
  26. Africa In 2009 : The Crisis Bites Harder
  27. Will The Financial Crisis Undo The Positive Development In Nigerian Banking?
  28. Kenya’s Widening Fiscal Deficit: A Cause Of Concern In 2009?
  29. Is It Time To Buy Distressed Debt?
  30. From Basel II To Basel III
  31. Work On EMU, And Finance And Banking Outlook

Semoga bermanfaat bagi semua..

Monday, January 5, 2009

Efek Januari 2009 dalam Struktur Perekonomian Indonesia

Efek januari lebih sering ditemukan dalam pasar modal dimana pada awal tahun sebagian besar fund manager melakukan pembelian saham lebih agresif dalam membentuk horizon baru portofolionya dalam tahun ini. Di bursa saham efek januari terjadi secara signifikan dan sanggup mendorong bursa saham meningkat sampai dengan 1.437,34 atau 6,04% dari penutupan sebelumnya. Namun pertanyaan tentang apakah efek januari di pasar modal akan menjadi momentum baik bagi perkeonomian Indonesia menjadi menarik untuk di telaah lebih lanjut.
Seolah coba memanfaatkan momentum pemerintah SBY-JK sejak akhir tahun 2008 silam mencoba membentuk optimisme pelaku ekonomi di tahun pemilu ini melalui beberapa rancangan stimulus ekonomi. Tambahan dana segar pada perekonomian Indonesia sebesar 50 Triliun rupiah serta perpanjangan sunset policy, penaikan harga gabah petani serta pemberian sinyal untuk menurunkan beberapa komoditas adalah beberapa stimulus yang diharapkan akan memberikan efek postitf terhadap perekonomian Indonesia seperti efek januari pada sektor finansial. Hal tersebut akan menarik ketika timbul pertanyaan apakah rancangan tersebut akan dapat memenuhi ekspektasi masyarakat terhadap perekonomian Indonesia.
Beberapa indikator ekonomi yang dipublikasikan awal tahun ini sepertinya akan memberi petunjuk bahwa upaya pemerintah dalam membentuk ekspektasi tahun 2009 yang lebih optimis tidaka akan dapat terwujud dengan mudah. Kondisi ini berbeda dengan stimulus Obama yang langsung dapat memberikan optimisme terhadap perekonomian Amerika Serikat. Perbedaan ini tidak terlepas dari struktur pereknomian Indonesia yang berbeda dengan struktur perekonomian negara lainnya.
Secara sekilas-pun tampak berdasarkan data inflasi yang dikeluarkan oleh BPS bahwa Indonesia berada dalam struktur perekonomian dengan rigiditas harga yang sangat tinggi. Struktur perekonomian dengan rigiditas upah yang tinggi tidak terlepas dari struktur upah yang berada dalam rezim yang sangat kaku mealui kebijakan upah minimum. Akibatnya, penurunan harga BBM yang terjadi tidak dapat secara sempurna di respon oleh sisi penawaran seperti ketika merespon kenaikan harga BBM. Struktur tersebut diperparah oleh perilaku memonopoli yang dilakukan oleh para monopolis.
Hal yang tidak kalah pentingnya adalah terdapatnya dualisme struktur perekonomian di Indonesia. Masyarakat Indonesia tidak didominasi oleh kaum pekerja, namun ada unsur petani, nelayan dan sektor informal yang tidak memiliki penghasilan tetap untuk berkonsumsi. Masyarakat yang bergerak di sektor-sektor ini secara struktural sangat bergantung terhadap kredit baik untuk konsumsi maupun berproduksi. Cerita kegagalan kredit murah terhadap karakteristik masyarakat seperti ini menunjukkan ketidakmampuan pemerintah membaca struktur perekonomian Indonesia.
Lalu apa yang harus dilakukan pemerintah untuk menghadapinya? Cara pertama yang dapat dilakukan adalah mengubah struktur tersebut atau kita menghadapi struktur tersebut.
Cara pertama sepertinya tidak mudah dilakukan oleh pemerintah. Upaya pemerintah untuk mengubah struktur ini dilakukan melalui pembentukkan komisi persaingan usaha dan upaya mengubah rezim dari upah tetap via UMR menjadi upah fleksibel belum berjalan optimal. Namun kondisi tersebut belum dapat direalisasikan dengan baik, bahkan kebijakan mengubah struktur perekonomian Indonesia yang terakhir menemui kegagalan. Sementara itu, perubahan struktural untuk mentransformasi petani, nelayan dan sektor informal menjadi pekerja sektor industri formal diperlukan waktu yang cukup panjang.
Dalam situasi ini hal yang dapat dilakukan hanyalah dengan cara memberikan stimulus pada perekonomian baik dari sektor fiskal maupun moneter. Pemerintah telah banyak memberikan stimulus sementara Bank Indonesia tampak memberi sinyal tren penurunan suku bunga. Namun stimulus tersebut tampak sangat bias ke sektor industri yang berkaraktiristik upah yang rigid dibandingkan dengan masyarakat yang berada pada sektor pertanian dan informal.
Karakteristik sektor pertanian, perikanan dan informal yang sangat bergantung pada kredit sepertinya kurang lihai dibaca oleh pemerintah. Masyarakat yang berada dalam struktur ini tidak hanya memerlukan kredit produktif namun juga kredit konsumtif. Oleh karena itu, arah kebijakan BI pada tahun 2009 untuk membatasi pertumbuhan kredit formal dan pemberian kredit oleh pemerintah melalui KUR yang hanya berfokus pada pemberian kredit produktif perlu dikaji kembali.
Dalam kebijakan kredit terhadap masyarakat pertanian dan sektor iniformal harus diperhatikan upaya menjaga keberlajutannya melalui insentif terhadap perkembangan teknologi serta pembukaan akses pasar di sektor ini. Hal ini bermanfaat untuk menjaga agar kredit produktif dapat secara optimal didayagunakan oleh masyarakat. Namun kondisi ini menjadi tidak optimal karena jika tidak ada mekanisme yang tepat dalam menyalurkan kredit konsumsi masyarakat dalam struktur ini. Pola pemberian kredit konsumsi yang tepat juga memerlukan kredit konsumsi terbatas untuk mengentaskan mereka dari kemiskinan.

Sunday, January 4, 2009

Relevansi Koperasi Indonesia dalam Struktur Perekonomian Terkini

Koperasi dalam perspektif normatif merupakan badan usaha yang sesuai dengan amanat salah satu pasal dalam Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945). Jika dibandingkan dengan jenis badan usaha lainnya, koperasi merupakan badan usaha yang menjadi ciri khas Indonesia sebagai sebuah bangsa. Institusi-institusi yang terdapat dalam koperasi dinilai merupakan representasi nilai-nilai yang menjadi ciri utama bangsa Indonesia.
Nilai-nilai khas perekonomian Indonesia dilembagakan secara formal dalam UUD 1945 pasal 33 ayat 1 yaitu (perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan). Lembaga yang merepresentasikan nilai-nilai tersebut oleh para “ekonom pancasila” ditunjukkan melalui koperasi. Terlepas dari debat tentang pemaknaan nilai-nilai formal tersebut, definisi koperasi sebagai badan usaha yang pemilik dan anggotanya juga merupakan pelanggan badan usaha tersebut (Ropke, 1987) mendukung proposisi tersebut. Sementara itu, Hanel (1989) mendefinisikan koperasi sebagai organisasi yang bertujuan memberikan profit kepada anggota melalui kegiatan ekonomi yang dilaksanakan secara bersama.
Dalam sistem perekonomian Indonesia karakter khas koperasi dibandingkan dengan badan usaha lainnya menjadikan koperasi sebagai badan usaha yang secara normatif penting dalam pencapaian kesejahteraan rakyat. Implementasi peran koperasi terhadap perekonomian di Indonesia pada umumnya dan masyarakat pada khususnya tertuang pada UU No.25/1992 tentang koperasi. Berdasarkan aspek normatif institusional, pengelolaan koperasi Indonesia yang didasarkan pada nilai-nilai dasar yang terkandung dalam UUD 1945 seharusnya akan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat, namun kontribusi positif koperasi terhadap perekonomian nasional belum optimal. Penelitian yang dilakukan oleh Mutis pada tahun mengidentifikasi bahwa koperasi hanya berkontribusi sebesar 5% terhadap perekonomian nasional (Hendar dan Kusnadi, 1999). Keterbaruan penelitian ini mungkin tidak mencukupi dalam membentuk opini dalam menjawab apakah koperasi masih relevan saat ini.
Untuk menjwabnya terlebih dahulu kita melihat potret koperasi saat ini. Dalam penelitiannya Tambunan (2008) menunjukkan fenomena bahwa sejak tahun 2000 aset koperasi nasional didominasi oleh koperasi simpan pinjam. Faklta dalam penelitian ini menunjukkan bahwa posisi kredit mikro yang disalurkan oleh koperasi pada tahun 2002 mencapai 31% atau berada hanya setingkat di bawah Bank Rakyat Indonesia yang mencapai 46%. Kondisi ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Sulaeman (2004) dengan pendekatan kemanfaatan ekonomi yang menunjukkan keunggulan lembaga keuangan berbentuk koperasi. Jika dilakukan sebuah refleksi mengenai kondisi koperasi saat ini dengan memperbandingkannyaterhadap tujuan normatif dalam UUD 1945 dan UU No.25/1992, maka akan diperoleh jawaban mengenai relevansi koperasi di Indonesia saat ini.
Dalam tulisan ini, saya menggunakan analisis mikroekonomi kesejahteraan dengan mengambil contoh kasus koperasi pertanian Indonesia dengan beberapa simulasi untuk memberikan gambaran bagaimana seharusnya koperasi dikelola agar tetap relevan dalam kondisi saat ini namun juga tetap menjaga kemurnian aspek normatifnya. Dengan menggunakan model neoklasik penelitian ini menggunakan prinsip keterpisahan pasar pada sektor pertanian di Indonesia seperti yang dikemukakan oleh Benjamin (1992). Artinya tidak terjadi faktor simultan petani sebagai produsen dan sebagai konsumen. Asumsi utama dalam model ini adalah petani berada dalam koperasi yang menjual faktor produksi dan barang konsumsi. Simulasi dilakukan dengan dua model yaitu:
A.) Simulasi pertama dilakukan dengan petani sebagai anggota Koperasi dimana manajemen koperasi memberikan diskon sebesar α karena pembelian yang dilakukan secara masif untuk anggotanya baik terhadap faktor produksi maupun barang konsumsi. Sehingga diperoleh persamaan petani sebagai konsumen dan anggota koperasi sebagai berikut:

Max: U = U(Xm, Xa, Xp)
s.t. PmXm + (1- α) PaXa=Pp(Qp-Xp) - wL - (1- β) PFF - (1- γ) rK + sC

Sementara petani sebagai produsen dan anggota koperasi adalah
Y = π(L, F, K) + β PFF + γrK + sC

B.) Simulasi kedua dilakukan dengan petani sebagai anggota koperasi dimana manajemen koperasi memberikan harga yang lebih tinggi untuk kemudian akan memberikan tambahan pendapatan dengan menambah SHU-nya. Kondisi dimana petani sebagai konsumen dan anggota koperasi ditunjukkan oleh persamaan berikut ini.

Max: U = U(Xm, Xa, Xp)
s.t. PmXm + (1+ α) PaXa=Pp(Qp-Xp) - wL - (1+ β) PFF - (1+ γ) rK + sC


Sementara itu aspek pendapatan yang diperoleh petani sebagai produsen dan anggota koperasi yang merupakan konsekuensi dari model kedua ditunjukkan oleh persamaan berikut ini.
Y = π(L, F, K) - β PFF - γrK + sC

Dengan SHU yang diterima oleh anggota koperasi adalah sebesar
(Σ (ν - α). (Pa.Xa) (1+r)) + (Σ (ν - β). (PFF). (1+r)) + (Σ (ν - γ). (rK) (1+r)). Kondisi tersebut akan dengan jika koperasi memberikan SHU sebesar pada anggota koperasi di akhir tahun.

Berdasarkan dua model tersebut tampak bahwa simulasi pertama lebih menghasilkan kesejahteraan ekonomi yang lebih besar serta dilakukan dengan cara yang lebih efisien karena dapat memberikan biaya koordinasi yang lebih rendah dibandingkan dengan simulasi model kedua. Sehingga koperasi akan relevan dalam kondisi saat ini jika koperasi dikelola dengan model pada simulasi pertama dibandingkan kedua.