Thursday, March 15, 2007

Obligasi Ritel Republik Indonesia (ORI)

Modigliani (1986) melalui teori life-cycle hypothesis menekankan bahwa pendapatan seseorang bervariasi pada setiap masa kehidupan. Dalam kondisi tersebut, manusia berusaha menstabilkan pendapatan sepanjang hidupnya. Proposisi tersebut juga menyatakan bahwa saat berusia produktif manusia memiliki pendapatan lebih banyak dibandingkan pada saat seseoang memasuki usia tidak produktif. Oleh karena itu, membuat saldo antara masa produktif dan masa tidak produktif seimbang menjadi konsep yang penting.
Menabung menjadi salah satu solusi menyeimbangkan saldo usia produktif dan usia tidak produktif. Meskipun demikian, menabung menjadi sulit dilkukan karena tabungan dirasakan sebagai pengeluaran oleh sebagian besar masyarakat. Untuk menghindari perasaan tersebut, investasi merupakan alternatifnya. Return yang dihasilkan ketika berinvestasi menjadi faktor pembeda investasi dan tabungan.
Perkembangan teknologi saat ini membeuat instrumen investasi bervariasi. Keragaman instrumen investasi tersebut berdampak pada banyaknya alternatif dalam melakukan investasi. Reksadana, deposito, hibrida antara asuransi dan investasi adalah beberapa contohnya.
Saat ini pilihan instrumen investasi bertambah. Obligasi Negara Ritel Indonesia (ORI) menjadi tambahan pilihan berinvestasi masyarakat. Serupa dengan jenis obligasi lainnya, merupakan surat bukti hutang antara penerbit dengan pemilik surat hutang. Meskipun demikian, ORI berbeda dengan jenis obligasi lainnya. ORI merupakan jenis obligasi yang ditujukan untuk dimiliki oleh individu. ORI memiliki nilai nominal Rp1.000.000,- per unit dengan minimum satuan perdagangan Rp5.000.000,00,-.
ORI sampai dengan Maret 2007 telah diterbitkan dua kali. ORI sejak pertama kali diterbitkan mendapat sambutan yang baik dari masyarakat. Hal itu ditunjukkan oleh penawaran ORI-001 mencapai 3 triliun yang lebih dari target awal yang hanya 2 triliun.
Secara umum, ORI merupakan instrumen keuangan yang menguntungkan masyarakat. Beberapa unsur pertimbangan mengapa ORI merupakan instrumen keuangan yang menarik adalah: aspek keamanan, aspek likuiditas dan aspek return-nya. Jika dilihat dari aspek kemanan, ORI merupakan instrumen keuangan yang aman dimiliki karena penerbit ORI adalah Pemerintah Republik Indonesia sehingga risiko gagal default-nya kecil. UU No.24/2002 merupakan dasar hukum pembayaran kupon bunga dan pembayaran kembali pokok hutang. Selain itu, secara obyektif saat ini beberapa indikator ekonomi menunjukkan peningkatan rating pemerintah Indonesia.
ORI juga merupakan instrumen keuangan yang menguntungkan karena memiliki likuiditas yang tinggi. ORI dapat dijual di pasar sekunder atau sama dengan instrumen keuangan lainnya. Harga ORI di pasar sekunder diperdagangkan sesuai dengan harga pasar. Likuiditas ORI juga didukung oleh syarat penjualan dan pembelian yang mudah.
ORI merupakan instrumen investasi yang memiliki return yang lebih tinggi dibandingkan dengan instrumen investasi individu konvensional. Return ORI dapat diperoleh melalui capital gain dan return dari kupon bunganya. Capital gain diperoleh ketika harga ORI berada di atas harga pembelian. Harga ORI akan naik ketika suku bunga perbankan berada pada tren yang menurun. Tingkat return ORI yang berada di atas suku bunga perbankan tetap membuat pemegang ORI memiliki keuntungan lebih baik ketika memegang ORI selama jangka waktu ORI.
Hal yang patut dicermati dalam ORI adalah mekanisme pengenaan pajak terhadap ORI. Berbeda dengan deposito dan tabungan yang terkena pajak final dari bunga yang diterima, pajak ORI belum final. Penerimaan bunga harus dilaporkan dalam SPT dan dikenai pajak penghasilan. Oleh karena itu, diperlukan kecermatan dalam menghitung return bersih setelah dikenai pajak ketika seseorang memegang ORI. Diantara kentungan dan kelemahan ORI di atas, kehadiran ORI tetap memberi harapan yang cerah bagi masyarakat dan pemerintah. Selamat Berinvestasi dan Selalu Seimbangkan Saldo Pedapatan Anda! (HS)

Tuesday, February 27, 2007

Penelitian Terbaru: (Analisis Politik Ekonomi Inflasi 43 Kota Besar di Indonesia: Pendekatan Analisis Ekonomi Politik Baru)

Indonesia menghadapi dua tantangan utama setelah reformasi nasional di tahun 1998. Tantangan tersebut adalah globalisasi ekonomi dan peningkatan kualitas demokratisasi politik rakyat. Kedua tantangan tersebut dapat dilihat sebagai tantangan eksternal dan internal. Tantangan globalisasi ekonomi secara eksternal merupakan konsekuensi geo-ekonomi sebagai negara kecil dan terbuka. Sementara dari sisi internal tantangan utama Indonesia adalah peningkatan kualitas demokratisasi.
Keaktifan Indonesia dalam globalisasi ekonomi ditunjukkan oleh proses ratifikasi beberapa kesepakatan internasional. Selama ini Indonesia telah meratifikasi beberapa perjanjian bawah beberapa organisasi multilateral seperti ASEAN, APEC dan WTO. Konsekuensi ratifikasi tersebut adalah diperlukannya ketahanan ekonomi dalam menghadapi guncangan ekonomi eksternal. Kondisi eksisting ekonomi politik Indonesia sebagai negara kecil dan terbuka berimplikasi terhadap potensi kerentanan ekonomi Indonesia dalam menghadapi globalisasi ekonomi. Oleh karena itu, kebijakan-kebijakan stabilisasi ekonomi diperlukan dalam menghadapi tantangan tersebut.
Peningkatan kualitas demokratisasi Indonesia terus menunjukkan kemajuan dan dipuncaki dengan proses pemilihan langsung terhadap pimpinan nasional dan regional. Kesuksesan pemilu nasonal tahun 2004 dan pemilihan kepala daerah di tingkat propinsi dan kabupaten/kota selanjutnya menjadi indikator peningkatan kualitas demokrasi di Indonesia. Sejalan dengan proses itu sistem pemerintahan Indonesia juga dibenahi dengan pemberlakuan undang-undang yang memfokuskan desentralisasi sebagai sistem distribusi kekuasaan. Undang-undang tentang pemerintah daerah disertai beberapa teknis peraturan pelakasanaan menunjukkan komitmen pemerintah tersebut.
Dua tantangan tersebut perlu direspon secara institusional. Tantangan tersebut direspon secara institusional melalui pencapaian target-target hasil (outcome) makroekonomi. Target-target tersebut antara lain adalah pertumbuhan ekonomi yang tinggi, pengangguran yang rendah serta inflasi yang rendah. Diantara beberapa target tersebut, salah satu target hasil yang penting untuk merespon perkembangan saat ini adalah stabilitas ekonomi. Salah satu indikator pencapaian target-target hasil (outcome) stabilitas ekonomi adalah kestabilan inflasi.
Dilihat dari aspek ekonomi politik, untuk respon pencapian target-target hasil tersebut selanjutnya akan diimplementasikan dengan peraturan perundangan. Hal tersebut bermanfaat memberikan legalitas dalam operasional pelaksanaannya. Meskipun demikian, perwujudan pencapaian target-target hasil sampai saat ini baru diwujudkan dengan implementasi Undang-undang (UU) tentang Bank Indonesia. Melalui UU tersebut secara eksplisit dijelaskan bahwa kestabilan inflasi merupakan tujuan yang harus dicapai.
Selama ini ekonom memiliki proposisi bahwa inflasi yang tinggi akan menyebabkan penurunan kualitas kesejahteraan masyakarakat (Aisen dan Vega, 2006). Penurunan kualitas kesejahteraan tersebut berpotensi untuk menjadi pemicu kegagalan pemerintah secara politik. Indonesia menjadi salah satu contohnya. Penggulingan pemerintahan sampai dengan reformasi di segala bidang yang terjadi di Indonesia pada tahun 1998, berawal dari krisis yang terjadi di bidang ekonomi.
Keynes (1926) percaya bahwa ketika terjadi penurunan kesejahteraan masyarakat akibat krisis ekonomi peran pemerintah diperlukan untuk memulihkan ekonomi ke kondisi semula. Reformasi yang dilakukan Indonesia setelah krisis ekonomi tahun 1998 merupakan upaya pembaharuan pemerintah untuk memulihkan perekonomian kembali. Beberapa kemajuan yang dicapai Indonesia saat ini merupakan akumulasi respon dan sikap antisipatif pemerintah dalam memperkuat kestabilan perekonomian.
Pandangan Keynes tersebut dalam perkembangannya disebut sebagai perspektif naif seorang ekonom. Kalecki (1943) dalam konsep Marxo-Keynesian melihat hal tersebut dalam perspektif yang berbeda. Menurut Kalecki, sikap politik oleh beberapa partisan partai politik yang mementingkan kepentingan pribadi dan partai politiknya merupakan memiliki peran terhadap terjadinya resesi. Sehingga pendapat tentang menstabilkan perekonomian yang dilakukan pemerintah dalam sistem ekonomi pasar seperti yang digagas oleh Keynes menurut Kalecki dianggap merupakan suatu pendekatan yang naif.
Akerman (1947) dalam menyikapi dua pendapat di atas menyimpulkan bahwa diperlukan kehatihatian dalam memberi porsi yang besar kepada pemerintah dalam menentukan kebijakan publik. Kebijakan publik yang berbeda antara satu rezim dengan rezim yang lain berpotensi menciptakan instabilitas ekonomi. Menurut Akerman kondisi ini disebabkan oleh asumsi bahwa pemerintah yang dibentuk melalui proses pendekatan politik tidak lagi memiliki sifat alturisme. Bahkan Harord (1951) secara lebih keras menyatakan bahwa asumsi kebijakan ekonomi yang ditentukan secara elitis justru akan membuat pengambilan keputusan tidak berpihak pada rakyat terjadi.
Sejalan dengan itu, Indonesia sebagai negara yang tengah berada dalam tahap vitalisasi demokrasi merupakan negara yang sangat rentan terhadap bias kepentingan dalam setiap kebijakan publik yang dihasilkan. Meskipun demikian belum banyak studi yang membuktikan pengaruh kondisi politik terhadap perekonomian. Pidato pengukuhan guru besar Prof Dr. Boediono menyimpulkan hal yang serupa bahwa keberhasilan ekonomi diperlukan untuk mengawal demokrasi. Penelitian ini berusaha menelaah lebih lanjut pengaruh politik terhadap kondisi perekonomian. Cakupan penelitian yang mencakup 43 kota membuat kajian penelitian ini lebih komprehensif.

Monday, February 26, 2007

Salam


Assalamualaikum Wr.Wb.
Blog ini merupakan media komunikasi antara mahasiswa dan rekan-rekan peneliti.
Beberapa bagian dari blog ini terdiri dari bahan-bahan kuliah serta penelitian yang pernah saya lakukan.
Wassalamualikum..