Tuesday, February 27, 2007

Penelitian Terbaru: (Analisis Politik Ekonomi Inflasi 43 Kota Besar di Indonesia: Pendekatan Analisis Ekonomi Politik Baru)

Indonesia menghadapi dua tantangan utama setelah reformasi nasional di tahun 1998. Tantangan tersebut adalah globalisasi ekonomi dan peningkatan kualitas demokratisasi politik rakyat. Kedua tantangan tersebut dapat dilihat sebagai tantangan eksternal dan internal. Tantangan globalisasi ekonomi secara eksternal merupakan konsekuensi geo-ekonomi sebagai negara kecil dan terbuka. Sementara dari sisi internal tantangan utama Indonesia adalah peningkatan kualitas demokratisasi.
Keaktifan Indonesia dalam globalisasi ekonomi ditunjukkan oleh proses ratifikasi beberapa kesepakatan internasional. Selama ini Indonesia telah meratifikasi beberapa perjanjian bawah beberapa organisasi multilateral seperti ASEAN, APEC dan WTO. Konsekuensi ratifikasi tersebut adalah diperlukannya ketahanan ekonomi dalam menghadapi guncangan ekonomi eksternal. Kondisi eksisting ekonomi politik Indonesia sebagai negara kecil dan terbuka berimplikasi terhadap potensi kerentanan ekonomi Indonesia dalam menghadapi globalisasi ekonomi. Oleh karena itu, kebijakan-kebijakan stabilisasi ekonomi diperlukan dalam menghadapi tantangan tersebut.
Peningkatan kualitas demokratisasi Indonesia terus menunjukkan kemajuan dan dipuncaki dengan proses pemilihan langsung terhadap pimpinan nasional dan regional. Kesuksesan pemilu nasonal tahun 2004 dan pemilihan kepala daerah di tingkat propinsi dan kabupaten/kota selanjutnya menjadi indikator peningkatan kualitas demokrasi di Indonesia. Sejalan dengan proses itu sistem pemerintahan Indonesia juga dibenahi dengan pemberlakuan undang-undang yang memfokuskan desentralisasi sebagai sistem distribusi kekuasaan. Undang-undang tentang pemerintah daerah disertai beberapa teknis peraturan pelakasanaan menunjukkan komitmen pemerintah tersebut.
Dua tantangan tersebut perlu direspon secara institusional. Tantangan tersebut direspon secara institusional melalui pencapaian target-target hasil (outcome) makroekonomi. Target-target tersebut antara lain adalah pertumbuhan ekonomi yang tinggi, pengangguran yang rendah serta inflasi yang rendah. Diantara beberapa target tersebut, salah satu target hasil yang penting untuk merespon perkembangan saat ini adalah stabilitas ekonomi. Salah satu indikator pencapaian target-target hasil (outcome) stabilitas ekonomi adalah kestabilan inflasi.
Dilihat dari aspek ekonomi politik, untuk respon pencapian target-target hasil tersebut selanjutnya akan diimplementasikan dengan peraturan perundangan. Hal tersebut bermanfaat memberikan legalitas dalam operasional pelaksanaannya. Meskipun demikian, perwujudan pencapaian target-target hasil sampai saat ini baru diwujudkan dengan implementasi Undang-undang (UU) tentang Bank Indonesia. Melalui UU tersebut secara eksplisit dijelaskan bahwa kestabilan inflasi merupakan tujuan yang harus dicapai.
Selama ini ekonom memiliki proposisi bahwa inflasi yang tinggi akan menyebabkan penurunan kualitas kesejahteraan masyakarakat (Aisen dan Vega, 2006). Penurunan kualitas kesejahteraan tersebut berpotensi untuk menjadi pemicu kegagalan pemerintah secara politik. Indonesia menjadi salah satu contohnya. Penggulingan pemerintahan sampai dengan reformasi di segala bidang yang terjadi di Indonesia pada tahun 1998, berawal dari krisis yang terjadi di bidang ekonomi.
Keynes (1926) percaya bahwa ketika terjadi penurunan kesejahteraan masyarakat akibat krisis ekonomi peran pemerintah diperlukan untuk memulihkan ekonomi ke kondisi semula. Reformasi yang dilakukan Indonesia setelah krisis ekonomi tahun 1998 merupakan upaya pembaharuan pemerintah untuk memulihkan perekonomian kembali. Beberapa kemajuan yang dicapai Indonesia saat ini merupakan akumulasi respon dan sikap antisipatif pemerintah dalam memperkuat kestabilan perekonomian.
Pandangan Keynes tersebut dalam perkembangannya disebut sebagai perspektif naif seorang ekonom. Kalecki (1943) dalam konsep Marxo-Keynesian melihat hal tersebut dalam perspektif yang berbeda. Menurut Kalecki, sikap politik oleh beberapa partisan partai politik yang mementingkan kepentingan pribadi dan partai politiknya merupakan memiliki peran terhadap terjadinya resesi. Sehingga pendapat tentang menstabilkan perekonomian yang dilakukan pemerintah dalam sistem ekonomi pasar seperti yang digagas oleh Keynes menurut Kalecki dianggap merupakan suatu pendekatan yang naif.
Akerman (1947) dalam menyikapi dua pendapat di atas menyimpulkan bahwa diperlukan kehatihatian dalam memberi porsi yang besar kepada pemerintah dalam menentukan kebijakan publik. Kebijakan publik yang berbeda antara satu rezim dengan rezim yang lain berpotensi menciptakan instabilitas ekonomi. Menurut Akerman kondisi ini disebabkan oleh asumsi bahwa pemerintah yang dibentuk melalui proses pendekatan politik tidak lagi memiliki sifat alturisme. Bahkan Harord (1951) secara lebih keras menyatakan bahwa asumsi kebijakan ekonomi yang ditentukan secara elitis justru akan membuat pengambilan keputusan tidak berpihak pada rakyat terjadi.
Sejalan dengan itu, Indonesia sebagai negara yang tengah berada dalam tahap vitalisasi demokrasi merupakan negara yang sangat rentan terhadap bias kepentingan dalam setiap kebijakan publik yang dihasilkan. Meskipun demikian belum banyak studi yang membuktikan pengaruh kondisi politik terhadap perekonomian. Pidato pengukuhan guru besar Prof Dr. Boediono menyimpulkan hal yang serupa bahwa keberhasilan ekonomi diperlukan untuk mengawal demokrasi. Penelitian ini berusaha menelaah lebih lanjut pengaruh politik terhadap kondisi perekonomian. Cakupan penelitian yang mencakup 43 kota membuat kajian penelitian ini lebih komprehensif.

Monday, February 26, 2007

Salam


Assalamualaikum Wr.Wb.
Blog ini merupakan media komunikasi antara mahasiswa dan rekan-rekan peneliti.
Beberapa bagian dari blog ini terdiri dari bahan-bahan kuliah serta penelitian yang pernah saya lakukan.
Wassalamualikum..