Friday, July 17, 2009

Perekonomian Nir-Ruh

Tanda-tanda kemenangan salah satu pasangan presiden memberikan harapan terhadap status quo perekonomian Indonesia. Hal tersebut terindikasi dari sekitar 60 persen masyarakat yang mendukung dilanjutkannya pengelolaan perekonomian status quo tersebut. Ilusi jargon pada masyarakat Indonesia yang penghindar risiko (risk averse) adalah kombinasi sempurna untuk menjelaskan bagaimana sekitar 105 juta pemilih di Indonesia menentukan pilihannya.

Ilusi jargon semakin terasa karena ekonomi hanya dipakai sebagai salah satu isu untuk menggapai kekuasaan. Pada konteks ini hubungan politik dan ekonomi menjadi sekedar politisasi ekonomi. Ekonomi tidak lagi dipandang tentang bagaimana cara mensejahterakan masyarakat namun menjadi salah satu instrumen untuk memperoleh kekuasaan. Situasi ini tidak dapat dilepaskan dari dominasi para politisi oportunis dibandingkan para ekonom dan politisi. Ekonom dan politisi berada dalam posisi melegitimasi hasrat-hasrat politik para politisi oportunis.

Hal tersebut sangat terasa karena kemiskinan filosofi ekonomi dan politik sebagai dasar menjalankan perekonomian. Penolakan sebutan neoliberalisme tanpa menunjukkan secara tegas dasar filosofi pengelolaan perekonomian status quo tersebut menunjukkan hal tersebut tidak lebih hanya sebagai pragmatisme politik di Indonesia. Tujuan utama sangat terbatas hanya untuk memenangkan kekuasaan. Dalam situasi ini, para oportunis politik telah membutakan para ekonom dan politisi dari landasan filosofinya.

Pengkerdilan terhadap peran filosofi politik dan ekonomi mampu dicitrakan dengan baik oleh para oportunis politik Indonesia sebagai jalan meraih kekuasaan. Situasi ini tersemai dengan baik oleh hipokrasi para ekonom dan politsi itu sendiri. Hipokrasi tersebut telah melacurkan filosofi utama ekonomi dan politik dalam kemasan penggapaian kekuasaan sebagai pengabdian pada negara.

Penyikapan para politisi terhadap BLT menunjukkan lemahnya fundamental paradigma ekonomi maupun politik di Indonesia. Ketika salah satu parta besar menggulirkan kontroversi tentang paradigma pemberian BLT, ternyata lemparan paradigma tersebut dalam diskursus publik ternyata menjadi blunder bagi pencitraan partai tersebut. Menyadari tingkat pencitraan menurun, kemudian isu BLT tersebut diputarbalikkan kembali tanpa dasar paradigma yang jelas. Paradigma yang digulirkan pada awalnya yaitu bagaimana membangun bangsa ini dengan memberi kail atau ikan menjadi mentah karena alasan pencitraan tersebut.

Kemiskinan terhadap ideologi, filosofi, dan paradigma konstitusi menjadi nyata jika memperhatikan penglolaan negara ini. Keberpihakan pada masyarakat yang memberdayakan tergantikan oleh uluran donasi pemerintah kepada masyarakat. Dalam tataran teknis lainnya, paradigma inkonstitusional yang dimiliki penyelenggara negara menyebabkan hutang pemerintah saat ini memiliki sisi lain mata pedang yang siap menikam kualitas perekonomian negara ini. Beberapa contoh tersebut adalah sedikit gambaran paradigma parsial yang dimiliki oleh pengelola negara ini dan ternyata justru sangat inkonsitusional.

Pemberian BLT yang awalnya dimaksudkan sebagai mekanisme kompensasi kepada masyarakat akibat kenaikan harga BBM, ternyata masih tetap dilakukan sampai dengan hari-hari menjelang pemilu legislatif. Pengabaian paradigma demi pencitraan politik dalam hal ini menunjukkan miskinnya paradigma tentang pengelolaan kesejahteraan yang sesuai dengan pasal 27 dan 34 UUD 1945. Bagaikan binatang peliharaan, memberikan makanan tanpa mengajarkan bagaimana mendapatkan makanan hanya akan tetap membuat terdengarnya teriakan kelaparan keesokan harinya.

Fakta lain menunjukkan bahwa pengelolaan hutang negara saat ini memiliki filosofi yang inkonstitusional. Klaim tentang kemampuan membayar Indonesia yang bagus lewat indikator rasio PDB terhadap hutang ternyata tidak mampu meyakinkan investor untuk memiliki surat hutang Indonesia dengan harga yang murah. Meskipun secara kasat mata tidak ada yang aneh dalam pengelolaan hutang tersebut, namun terdapat implikasi inkonstitusional yang menjadi konsekuensinya.

Konsekuensi kebijakan tersebut terhadap perekonomian Indonesia secara filosofi ternyata sangat inkonstitusional. Hal tersebut setidaknya terlihat pada konsekuensi tegarnya suku bunga bank untuk menyaingi besaran imbal hasil surat hutang negara. Konsekuensi ekonomi riil yang menanggung beban bunga bank komersial adalah konsekuensi inkonstitusional karena telah mengkerdilkan ayat 1 pasal 33 UUD 1945. Dalam perspektif antargenerasi, generasi mendatang adalah hak waris resmi hutang pemerintah saat ini. Sementara itu, generasi masa depan hanya mewarisi gelembung PDB akibat transaksi sektor keuangan jangka pendek sebagai kemampuan membayar hutang.

Keberpihakan para pengelola ekonomi untuk menggapai kekuasaan terhadap filosofi konstitusi merupakan aspek penting keberlanjutan Indonesia. Konstitusi Indonesia adalah kesepakatan bangsa yang mampu menghilangkan berbagai ikatan primordial dan perbedaan perspektif agama dalam pengelolaan ekonomi negara. Oleh karena itu, seharusnya hal yang membedakan antar partai dan antar capres hanyalah paradigma teknis pengelolaannya, sementara pada tataran filosofi dan ideologi sebagi ruhnya harus tetap konsisten terhadap konstitusi Indonesia. Cara inilah jalan untuk memperkaya ideologi dan filosofi ekonomi politik Indonesia.

Monday, July 13, 2009

Paradigma Ekonomi Maritim yang Terlupakan

(1) Hal yang sedikit terlewatkan dari agenda ekonomi para Capres beberapa waktu yang lalu adalah aspek geografis pembangunan ekonomi. Setidaknya sejak negara ini merdeka, pembangunan ekonomi dengan paradigma kontinental menjadi paradigma yang dominan. Hal tersebut tampak pada fokus pembangunan yang menitikberatkan infrastruktur daratan seperti jalan, jembatan dibandingkan dengan infrastruktur maritim. Secara implisit sebenarnya dalam paradigma kontinental ini, sungai dan laut dipandang sebagai hambatan pembangunan ekonomi.

(2) Isu mengenai cara menyatukan bangsa pada kasus negara yang memiliki cakupan daerah yang luas adalah isu penting dalam memberikan solusi terhadap peningkatan kesejahteraan ekonomi masyarakat. Amerika Serikat merupakan negara yang menyatukan daerahnya yang cukup luas melalui jalur rel kereta api. Jalur kereta api tersebut adalah sarana yang menghubungkan Amerika Serikat bagian selatan dan Amerika Serikat bagian utara. Begitu pun halnya di Cina, jalan tol yang menghubungkan Cina bagian timur sampai dengan Cina bagian barat merupakan nadi penting bagi kemajuan pembangunan ekonomi di Cina pada saat ini.

(3) Beberapa pemikir Indonesia yang visoner mulai menyadari hal ini. Setidaknya sampai dengan saat ini, kesadaran bahwa interaksi perekonmian bangsa Indonesia masih belum bersinergi secara utuh menjadi salah satu alternatif solusi penting dalam optimasi pembangunan ekonomi Indonesia. Bermunculannya konsep penyatuan pulau-pulau melalui terowongan bawah laut maupun jembatan menjadi gagasan penting dalam menyatukan Indonesia.

(4) Indikasi nyata konsep penyatuan Indonesia adalah pembangunan Jembatan Suramadu yang menghubungkan pulau Jawa dan Madura. Jembatan Suramadu juga menjadi tonggak penyatuan seluruh Indonesia dalam satu daratan yang luas yang dipisahkan oleh lautan. Paradigma ini mentasbihkan cara pandang bangsa Indonesia yang menggunakan pendekatan cara pandang kontinental.

(5) Jika sedikit melihat ke belakang, perubahan paradigma tidak dapat dilepaskan dari sejarah penjajahan Belanda di Indonesia. Tanda-tanda pengkerdilan sistem maritim dimulai sejak perjanjian Bongaya antara VOC dengan kerajaan di Sulawesi Selatan. Di Pulau Jawa upaya pemindahan kekuasaan dari Demak ke Kertasura lalu kemudian ke Surakarta merupakan salah satu upaya lain perubahan paradigma maritim ke peradigma kontnental. Kebudayaan maritim Majapahit, Sriwijaya, Gowa, Aceh, Cirebon, sampai dengan Ternate dan Tidore yang memiliki armada laut kuat mendadak tenggelam sejak penjajahan Belanda berlangsung.

(6) Perubahan kebudayaan maritim ke kebudayaan kontinental merupakan hasil nyata penjajahan Belanda kepada bangsa Indonesia. Terdapat suatu upaya sistematis yang dilakukan Belanda yang seakan mencoba membatasi lingkup bangsa Indonesia hanya terbatas pada daratan. Hal tesebut juga terus terwariskan kepada para pejuang yang mencoba membebaskan negara ini dari penjajahan. Kondisi inilah yang menyebabkan penjajahan Belanda terhadap Indonesia brlangsung langgeng selama 350 tahun.

(7) Warisan ini kemudian terlegitimasi menjadi suatu ideologi membangun perekonomian Indonesia. Meskipun demikian, ideologi pembangunan kontinental tentu tidak sepenuhnya menjadi pendekatan yang salah jika diterapkan. Hal tersebut disebabkan karena Indonesia masih memiliki wilayah pulau-pulau dengan daratan yang luas. Selain itu, ada bagian bangsa Indonesia yang memiliki kultur kontinental. Beberapa suku bangsa di Indonesia seperti Papua, Timor, Batak, Dayak dan Toraja adalah beberapa representasinya. Akan tetapi, kurang bijak tentunya apabila menjadikan ideologi pembangunan kontinental sebagai ideologi arus utama dalam pembangunan perekonomian Indonesia.

(8) Kondisi ini kemudian seakan melupak fakta lain bahwa terdapat beberapa suku bangsa yang kental budaya maritimnya. Beberapa suku bangsa tersebut antara lain yaitu Jawa, Sunda, Melayu, Madura, Bali, Bugis, sampia dengan Ternate dan Tidore. Selain itu beberapa fakta menunjukkan bahwa sebagian besar pusat-pusat aktivitas perekonomian di Indonesia terletak sangat dekat dengan laut.

(9) Hal tersebut tidak dapat dilepaskan dari bangun relasi antar pulau di Indonesia yang sudah terjalin sejak lama. Desain pusat aktivitas perekonomian dan sosial di nusantara mendukung hal tersebut. Kenyataan bahwa sebagian besar pusat-pusat aktivitas ekonomi Indonesia menghadap ke laut bagian dalam wilayah Indonesia adalah bukti anggunnya desain tersebut.

(10) Sayangnya, relasi ekonomi dan sosial antar pulau yang telah terjalin lama tidak mampu dipertahankan karena minimnya visi maritim pemimpin Indonesia. Penurunan kualitas perdagangan antar pulau dimulai sejak tahun 1957/1958 (BIES, 1966). Dalam catatan tersebut, ditemukan fakta bahwa kapasitas pelabuhan tidak ditingkatkan seiring dengan meningkatnya volume perdagangan antar pulau di Indonesia.

(11) Inilah pangkal utama salah kaprah pembangunan Indonesia sampai dengan saat ini. Tidak tersedianya infrastruktur laut yang memadai menyebabkan perdagangan antar pulau di Indonesia yang sudah terdesain dengan baik tidak berkembang secara optimal. Di sisi lain, luas wilayah pulau merupakan unsur pendukung yang menggoda pemimpin untuk mengimplementasikan paradigma pembangunan ekonomi yang berbasis kontinental.

(12) Hal ini menjadi semakin kompleks karena ketidaksadaran mengimplementasikan paradigma ini telah meletakkan pulau jawa sebagai pusatnya. Sikap abai terhadap menjaga relasi ekonomi dan sosial antar pulau selanjutnya menyebabkan ketimpangan ekonomi antara Jawa dan luar Jawa. Ketidakmerataan ini merupakan PR serius bagi presiden terpilih untuk melihat persoalan pembangunan perekonomian dalam perspektif yang lebih luas. Revitalisasi pembangunan ekonomi dengan tidak melewatkan paradigma maritim dalam membangun ekonomi merupakan kekuatan utama bangsa Indonesia ke depan.

Friday, July 10, 2009

Tentang Pengelolaan BBM Indonesia

Bahan Bakar Minyak (BBM) merupakan salah kebutuhan pokok masyrakat Indonesia. Tidak peduli rakyat miskin atau kaya, seluruhnya membutuhkan BBM untuk menjalani hdiup dan kehidupannya. Meskipun demikian setiap rakyat Indonesia membutuhkan BBM dengan derajat yang berbeda-beda satu dengan yang lain. Oleh karena itu, wajar jika kebutuhan BBM merupakan kebutuhan yang harus dijamin pemerintah ketersediaannya.

Disebabkan oleh sebagian penduduk Indonesia berada di bawah garis kemiskinan, maka terdapat kewajiban pemerintah untuk menyediakan BBM dengan harga yang lebih murah. Hal tersebut bermanfaat untuk memberikan jaminan aksesibilitas BBM terhadap masyarakat. Pemerintah menggunakan mekanisme subsidi untuk menjamin ketersediaan BBM untuk masyarakat. BBM dijual kepada masyarakat dengan harga yang lebih murah dibandingkan dengan harga pasar. Selisih harga tersebut merupakan besaran subsidi yang diberikan oleh pemerintah untuk menjamin keterjangkuan BBM pada masyarakat.

Mekanisme subsidi merupakan instrumen pemerintah dalam kerangka besar kebijakan fiskal. Secara umum, kebijakan fiskal merupakan kebijakan yang berkaitan dengan penerimaan dan pengeluaran anggaran negara. Subsidi BBM dalam postur penganggaran APBN merupakan salah satu komponen pengeluaran pemerintah yang dapat berfluktuasi besarannya akibat perubahan harga komponen minyak mentah dunia. Oleh karena itu, jika harga minyak dunia memiliki kecenderungan naik maka terdapat potensi besaran subsidi BBM akan memiliki tren meningkat begitupun sebaliknya.

Penetapan harga acuam minyak Indonesia tidak sepenuhnya ditentukan oleh fluktuasi indikator harga minyak utama dunia. Penetapan harga minyak Indonesia (Indonesia Crude Price/ICP) merupakan rata-rata tertimbang indikator harga minyak di pasar Asia. Sehingga perubahan harga mniyak dunia masih memiliki pengaruh jeda terhadap perubahan besaran subsidi pemerintah untuk BBM. Pada APBN 2009, ICP diasumsikan pada kisaran 80 dolar setiap barel.

Secara teknis, cakupan jenis BBM yang disubsidi adalah bensin (premium), solar dan minyak tanah. Berdasarkan asumsi APBN kuantitas pemakaian perhari untuk ketiga jenis BBM tersebut berturut-turut adalah 50 juta liter, 37 juta liter dan 22 juta liter. Berdasarkan suatu asumsi APBN total subsidi yang harus dikeluarkan pemerintah untuk pemakaian BBM selama tahun 2008 lalu dengan asumsi ICP sebesar $110,6 dan kurs sebesar Rp9196 adalah 146 triliun rupiah.

Dengan menggunakan asumsi di atas biaya produksi BBM yang meliputi penyedotan minyak dari dalam bumi, proses minyak mentah menjadi BBM serta biaya pengangkutan mencapai rata-rata Rp1454 per liter. Harga produksi ini berlaku pada 927.000 barel per hari yang dilakukan oleh Indonesia. Namun di sisi lain, masih terdapat besaran impor BBM untuk mencukupi kebutuhan konsumsi dalam negeri yang mencapai 1,5 juta barel.

Jika kita mengambil contoh kasus pada asumsi pemerintah dalam APBN-P 2008 mendapatkan penerimaan dari sektor minyak bumi sebesar 179,5 triliun. Berdasarkan asumsi produksi sebesar 927.000 barel per hari (bph) seharusnya pemerintah mendapatkan penghasilan sebesar 292,507 triliun. Potensi tersebut diperoleh dengan mengalikan produksi 927.000 dengan kurs Rp9196 dan harga minyak $110,6 selama 365 hari. Artinya, rasio realisasi pendapatan minyak bumi terhadap potensi pendapatannya hanya sekitar 52 persen.

Dengan pola manajemen minyak bumi tersebut (realisasi penerimaan minyak hanya 52%) maka kenaikan harga minyak sebesar $120, akan berpotensi membuat anggaran pemerintah mengalami defisit. Sehingga dengan harga minyak mencapai $120, penerimaan negara hanya akan bertambah sebesar 39 triliun. Di sisi lain subsidi akan membengkak hingga mencapai 180 triliun.

Berdasarkan simulasi sederhana ini, dengan asumsi kontrak bagi hasil yang “paling merugikan” antara pemerintah dan perusahaan minyak sebesar 70:30, maka pemerintah dapat memperoleh tambahan pendapatan dari sektor minyak sebesar 99 triliun. Dengan tambahan 99 triliun pemerintah justru pembengkakan subsidi hinggas mencapai besaran 180 triliun dapat diatasi. Dalam kondisi ini bahkan pemerintah mendapatkan pendapatan windfall sebesar 44 triliun. Berdasarkan penjelasan di atas, sumber utama inefisiensi anggaran terletak pada kebocoran realiasai pendapatan minyak bumi. Dengan mengurangi kebocoran penerimaan migas sebesar 1 persen saja, pemerintah sudah dapat menambah penerimaan negara sebesar 2 triliun. Dalam kondisi ini sebaiknya pemerintah perlu memikirkan kembali pola pengelolaan BBM di Indonesia.

www.hery-sulistio.blogspot.com

Tuesday, June 16, 2009

Ekonomi Kerakyatan Tidak Sekedar Pro-Poor

(1)Ekonomi kerakyatan menjadi istilah yang jamak saat ini. Klaim tentang siapa pengusung sejati ekonomi kerakyatan berkembang menjadi diskursus yang menarik saat ini. Saling klaim ini menunjukkan bahwa tidak terdapat pengertian yang sama diantara para ekonom tentang sistem ekonomi ini. Selain itu, isu tentang ekonomi kerakyatan ternyata ditanggapi positif oleh rakyat sebagai harapan baru untuk meningkatkan kesejahteraan mereka.
(2)Salah satu calon presiden mendefinisikan ekonomi kerakyatan sebagai sistem ekonomi yang mendukung rakyat miskin dengan jargon pro-poor-nya. Benarkah ekonomi kerakyatan terwakili oleh klaim-klaim dari para capres tersebut? Secara singkat aspek tentang ekonomi kerakyatan akan di bahas secara singkat dalam tulisan ini.
(3)Ekonomi Kerakyatan yang sempat bermetamorfosis menjadi Ekonomi Pancasila merupakan sistem ekonomi yang sangat Indonesia. Hal tersebut disebabakan oleh ciri khas sistem ini yang merupakan buah pemikiran asli ekonom-ekonom Indonesia yang dilembagakan secara formal dalam pasal 33 UUD 1945 (sebelum perubahan). Berdasarkan definisi di atas maka ekonomi kerakyatan sesungguhnya ditunjukkan oleh konsep perekenomian Indonesia yang di susun oleh tiga pilar penting yaitu koperasi (pasal 33 ayat-1), BUMN yang menguasai hajat hidup orang banyak (pasal 33 ayat-2) dan pengelolaan kekayaan alam oleh negara (pasal 33 ayat 3). Sistem ekonomi yang bercirikan pasal 33 UUD 1945 tersebut selanjutnya disebut dengan ekonomi kerakyatan oleh beberapa ekonom Indonesia pada medio tahun 1980-an.
(4)Sistem ekonomi yang disusun sebagai usaha bersama dengan asas kekeluargaan yang sesuai dengan ayat 1 pasal 33 direpresentasikan oleh koperasi. Sebagai badan usaha dengan ciri kebersamaan usaha para anggotanya, koperasi diharapkan dapat menjadi potensi kekuatan ekonomi rakyat. Terlepas dari kelebihan dan kelemahannya, koperasi merupakan jelamaan kekuatan penting rakyat Indonesia yang bermodal lebih kecil dibandingkan dengan sektor usaha lainnya berperan aktif dalam percaturan perekonomian Indonesia. Jika dibandingkan dengan jenis badan usaha lainnya, koperasi merupakan badan usaha yang menjadi ciri khas Indonesia sebagai sebuah bangsa. Institusi-institusi yang terdapat dalam koperasi dinilai merupakan representasi nilai-nilai yang menjadi ciri khas bangsa Indonesia.
(5)Berdasarkan konsep inilah peran sebagian besar rakyat Indonesia yang bermodal kecil terakomodasi dalam miniatur sistem perekonomian Indonesia. Dalam sistem perekonomian Indonesia karakter khas koperasi dibandingkan dengan badan usaha lainnya menjadikan koperasi sebagai badan usaha yang secara penting dalam aksi pencapaian kesejahteraan rakyat. Implementasi peran koperasi terhadap perekonomian di Indonesia pada umumnya dan masyarakat pada khususnya tertuang pada UU No.25/1992 tentang koperasi serta direvitalisasi oleh Inpres 18/1998.
(6)Ekonomi kerakyatan masih memiliki ciri yang lain yang ada pada pasal 33 ayat dua dan tiga. Cabang-cabang produksi serta pengelolaan bumi, air dan kekayaan yang ada didalamnya secara optimal dikuasai oleh negara dan bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Ciri tersebut didefinisikan dengan cara nasionalisasi seluruh cabang produksi yang penting bagi rakyat seperti bidang energi, telekomunikasi, dan transportasi. Sementara itu, ayat tiga pada pasal ini mengarahkan kekuasaan terhadap kekayaan negara harus dapat dimanfaatkan untuk kepentingan rakyat.
(7)Klaim tentang konsep pro-poor sebagai ekonomi kerakyatan dalam satu sisi memang lebih implementatif. Namun hal tersebut justru mengaburkan definisi tentang ekonomi kerakyatan yang memiliki dimensi lebih luas dibandingkan dengan konsep pro-poor. Pro-poor policy merupakan kebijakan yang masih sangat dangkal dibandingkan dengan ekonomi kerakyatan. Konsep pro poor selama ini “masih” terbatas pada upaya mempertahankan konsumsi masyarakat agar tidak jatuh dalam kategori miskin. Manajemen harga, mekanisme transfer seperti BLT adalah beberapa cara untuk mempertahankan tingkat konsumsi masyarakat. Tingkat konsumsi masyarakat (C) dipertahankan dengan manajemen harga p, serta meningkatkan aksesibilitas qi dengan (8)BOS, biaya kesehatan murah dan sejenisnya.
Hal tersebut berbeda dengan ekonomi kerakyatan. Kondisi eksisting struktur pasar yang tidak sempurna dengan kecenduran monopolistik menempatkan posisi masyarakat dalam posisi yang lebih lemah. Hal ini hanya bisa ditandingi lewat koperasi. Sebagai usaha bersama rakyat, koperasi menjadi media pemberdayaan masyarakat. Hal ini tentunya berdimensi yang lebih luas dibandingkan kebijakan pro-poor yang diagung-agungkan itu.
Pemberdayaan dalam konsep ekonomi kerakyatan tidak hanya terbatas pada pemberian bantuan modal yang selama ini telah diklaim sebagai mekanisme pemberdayaan usaha rakyat. Pemberdayaan dalam ekonomi rakyat melalui koperasi tidak terbatas pada modal, tetapi pada daya tawar rakyat dalam strutkur pasar input dan output. Pemberdayaan yang optimal inilah yang ditawarkan oleh ekonomi kerakyatan dibandingkan konsep pemberdayaan sempit perekonomian pro kemiskinan.

Friday, June 5, 2009

Ekonomi Rakyat, Ekonomi Pro-Poor dan Ekonomi Liberal: Sebuah Jargon Politik

(1) Debat tentang sistem ekonomi neoliberal versus kerakyatan yang diikuti oleh salah satu cawapres di sebuah TV BUMN pada kamis malam akhir bulan mei lalu mengerucut pada satu hal yaitu peran pemerintah. Hal tersebut patut disayangkan karena menunjukkan kekurangpahaman terhadap topik debat tersebut khususnya ekonomi kerakyatan. Sesungguhnya inti debat antara jargon ekonomi kerakyatan dan ekonomi neoloberal tidak boleh dibatasi pada debat tentang peran negara dan pasar dalam perekonomian. Ungkapan tentang peran negara sebagai wasit dalam perekonomian merujuk pada buku terkenal milik Milton Friedman Capitalism and Freedom. Dalam buku tersebut negara dianalogikan sebagai wasit yang memiliki peran sebagai institusi yang menjamin efektivitas peraturan perundangan dalam negara melalui penegakan hukum.

(2) Negara dalam buku tersebut juga tidak boleh memberi keuntungan pada satu pihak relatif terhadap pihak lainnya. Seperti layaknya dalam pertandingan sepakbola, seorang wasit dilarang salah memberi keputusan, karena dapat merugikan salah satu kubu dan akan menguntungkan kubu yang lain. Bahkan seorang wasit(negara) tidak boleh dengan tidak sengaja mengenai bola ketika seorang pemain kubu tertentu mengumpan bola.

(3) Langkah ekstrem ini selanjuntya dituangkan dalam bentuk konsensus Washington yang ternama tersebut. Konsensus Washington merupakan jawaban awal tata dunia baru (pada saat itu) pasca runtuhnya komunisme Uni Soviet. Sejak era itu, tata dunia baru termasuk ekonomi dikelola secara kolektif oleh seluruh negara melalui lembaga multilateral berupa Bank Dunia dan IMF. Konsensus Washington adalah tonggaknya. Jika kemudian konsensus ini condong ke sistem ekonomi liberal disebabkan beberapa best practices mengikuti sistem ekonomi Inggris dan Amerika selama pemerintahan Ronald Reagen dan Margaret Thatcher. Ciri negara sebagai wasit memang cukup kental di sini.

(4) Marilah kita beralih pada Ekonomi Kerakyatan yang sempat bermetamorfosis menjadi Ekonomi Pancasila. Sistem ekonomi ini merupakan sistem perekonomian yang sangat Indonesia. Definisi ini saat ini mulai dikaburkan dengan pendapat yang menyamakan ekonomi kerakyatan dengan pro poor policy. Pro-poor policy merupakan kebijakan yang masih sangat dangkal dibandingkan dengan ekonomi kerakyatan. Pro poor hanya berusaha mengentaskan masyarakat dari jurang kemiskinan. Hal tersebut cukup dialkukan dengan mengurangi beban konsumsi masyarakat. Harga distabilkan, ada kompensasi seperti BLT adalah beberapa caranya. Logikanya untuk menaikkan C masyarakat dengan kombinasi barang konsumsi cara untuk mengangkatnya dari jurang kemiskinan adalah menstabilkan p, meningkatkan aksesibilitas q dengan BOS, biaya kesehatan murah dll. Pro poor secara umum masih berada di ranah itu.

(4a)Hal tersebut berbeda dengan ekonomi kerakyatan. Perbedaan terletak sistem ini merupakan ciri khas bangsa Indonesia. Pemikiran ini oleh ekonom-ekonom Indonesia yang dilembagakan secara formal dalam pasal 33 UUD 1945 (sebelum perubahan). Dalam hal ini perekenomian Indonesia di susun oleh tiga aspek penting yaitu koperasi (pasal 33 ayat-1), BUMN (pasal 33 ayat-2) dan pengelolaan kekayaan alam oleh negara (pasal 33 ayat 3). Oleh karena itu, ekonomi kerakyatan tidak boleh direduksi hanya dengan membahas BUMN.

(5) Selain pembahasan tentang BUMN, hal yang tidak kalah pentingnya adalah implementasi kekuatan rakyat lewat media koperasi. Ada pemberdayaan masyarakat lewat media koperasi. Terlepas dari kelebihan dan kelemahannya, koperasi merupakan jelamaan kekuatan penting rakyat Indonesia yang nir-modal dalam berperan serta dalam percaturan perekonomian Indonesia. Pasar persaingan yang tidak sempurna dengan kecenduran monopolistik hanya bisa ditandingi lewat koperasi. Unsur pemberdayaan rakyat terletak di sini. Hal tersebut lebih luas dibandingkan kebijakan pro-poor yang diagung-agungkan itu. Jika dilihat dari aspek normatif dibandingkan dengan jenis badan usaha lainnya, koperasi merupakan badan usaha yang menjadi ciri khas Indonesia sebagai sebuah bangsa. Terlepas dari definisi nilai-nilai bangsa Indonesia, institusi-institusi yang terdapat dalam koperasi dinilai merupakan representasi nilai-nilai yang menjadi ciri khas bangsa Indonesia.

(6) Hal tersebut tampak dari definisi koperasi sebagai badan usaha yang pemilik dan anggotanya juga merupakan pelanggan badan usaha tersebut (Ropke, 1987). Sementara itu, Hanel (1989) mendefinisikan koperasi sebagai organisasi yang bertujuan memberikan profit kepada anggota melalui kegiatan ekonomi yang dilaksanakan secara bersama.

(7) Berdasarkan konsep inilah miniatur sistem perekonomian Indonesia berupa suatu usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan ditunjukkan oleh badan usaha koperasi. Dalam sistem perekonomian Indonesia karakter khas koperasi dibandingkan dengan badan usaha lainnya menjadikan koperasi sebagai badan usaha yang secara normatif penting dalam pencapaian kesejahteraan rakyat. Implementasi peran koperasi terhadap perekonomian di Indonesia pada umumnya dan masyarakat pada khususnya tertuang pada UU No.25/1992 tentang koperasi.

(8) Ekonomi kerakyatan masih memiliki ciri yang lain yang ada pada pasal 33 ayat 3, pengelolaan bumi, air dan kekayaan yang ada didalamnya secara optimal harus bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Namun, sejauh ini pengelolaan itu belum optimal dalam mensejahterakan rakyat. Hal tersebut disebebakan oleh satu hal penting yaitu menyandarkan diri pada harga internasional padahal berdagang dengan negeri sendiri. Dasar paradigma tersebut diambil dengan tujuan untuk menjunjung tinggi prinsip-prinsip perdagangan bebas dengan berusaha menghindari pemberian subsidi berlebihan pada sektor domestik.

(9) Dalam perekembangannya prinsip-prinsip perlindungan terhadap industri domestik merupakan isu yang tidak kunjung selesai dalam pembahasan perundingan organisasi perdagangan dunia (WTO). Beberapa negara maju yang ditengarai mengusung sisitem neoliberal juga tidak mengimplementaisknnya secara konsekuen. Namun hal tersebut berbeda dengan Indonesia, prinsip menyandarkan harga kebutuhan domestik (BBM misalnya) pada harga internasional justru kontradiktif terhadap upaya penguatan sektor domestik. Hal tersebut disebabkan oleh tidak adanya upaya struktural untuk meningkatkan daya saing. Usaha untuk mencapai kesejahteraan rakyat seperti jauh panggang dari api.

(10) Berdasarkan uraian tersebut, mendebatkan jargon ekonomi neoliberal dengan ekonomi kerakyatan yang mengerucutkan permasalahan pada revitalisasi peran negara justru merupakan upaya mereduksi arti ekonomi kerakyatan sendiri. Pasal 33 yang seharusnya menjadi dasar sistem ekonomi kerakyatan tidak dapat diintepretasikan hanya sebagai upaya penguatan peran negara. Di sisi lain, jaminan hak dan kewajiban aktivitas ekonomi yang seimbang antara pelaku ekonomi perlu dilakukan oleh negara. Kombinasi yang baik antara peran negara sebagai wasit yang patuh terhadap konstitusinya dalam seluruh aspek aktivitas ekonomi harus selaras dengan konsistensi mengutamakan kesejahteraan rakyat yang disertai diplomasi ekonomi internasional yang kuat. Kondisi inilah yang seharusnya dapat diciptakan sehingga debat tidak akan hanya menjadi jargon dangkal dalam kampanye pemilihan presiden dan wakil presiden Indonesia 2009-2014.


Thursday, February 19, 2009

The Worst Economic and Financial Crisis Since the Great Depression Reveals the Weaknesses of the Laissez Faire Anglo-Saxon Model of Capitalism

from Nouriel Roubini:

It is now clear that this is the worst financial crisis since the Great Depression and the worst economic crisis in the last 60 years. While we are already in a severe and protracted U-shaped recession (as the deluded hope of a short and shallow V-shaped contraction has now evaporated) there is now a rising risk that this crisis will turn into an uglier multi-year L-shaped Japanese style stag-deflation (a deadly combination of stagnation, recession and deflation). The latest data on Q4 2008 GDP growth (at an annual rate) around the world are even worse than the first estimate for the US (-3.8%): -6.0% for the Eurozone; -8% for Germany; -12% for Japan; -16% for Singapore; -20% for Korea. The global economy is now literally in free fall as the contraction of consumption, capital spending, residential investment, production, employment, exports and imports is accelerating rather than decelerating.

To avoid this L-shaped near-depression a strong, aggressive, coherent and credible combination of monetary easing (traditional and unorthodox), fiscal stimulus, proper clean-up of the financial system and reduction of the debt burden of insolvent private agents (households and non-financial companies) is necessary in the US and other economies.

Unfortunately, the Eurozone is well behind the US in its policy efforts as: a) the ECB is behind the curve in cutting policy rates and creating non-traditional facilities to deal with the liquidity and credit crunch; b) the fiscal stimulus is too modest as those who can afford it (Germany) are lukewarm about it and those who need it the most (Spain, Portugal, Greece, Italy) can least afford it as they already have large budget deficits; c) there is lack of cross-border burden sharing of the fiscal costs of bailing out financial institutions.

The U.S. has done more (with its aggressive monetary easing and large fiscal stimulus putting it ahead) but two key elements are key to avoid a near-depression and still seriously missing: a proper clean-up of the banking system that may require a proper triage between solvent and insolvent banks and the nationalization of many banks, even some of the largest ones; and a more aggressive and across-the-board reduction unsustainable debt burden of millions of insolvent households (i.e. principal reduction of the face value of the mortgages, not just mortgage payments relief).

Moreover, in many countries the banks may be too-big-to-fail but also too- big-to-save, as the fiscal/financial resources of the sovereign may not be large enough to rescue such large insolvencies in the financial system.

Traditionally only emerging markets suffered – and still suffer - from such a problem. But now such sovereign risk – as measured by the sovereign spread - is also rising in many European economies whose banks may be larger than the ability of the sovereign to rescue them: Iceland, Greece, Spain, Italy, Belgium, Switzerland and, some suggest, even the UK.

The process of socializing the private losses from this crisis has already moved many of the liabilities of the private sector onto the books of the sovereign: banks, other financial institutions and, soon enough possibly, households and some important non-financial corporate companies.
At some point a sovereign [bank] may crack, in which case the ability of governments to credibly commit to act as a backstop for the financial system – including deposit guarantees – could come unglued.Thus, the L-shaped near-depression scenario is still quite possible – I assign to it a 30% probability - unless appropriate and aggressive policy action is undertaken by the US and other economies.This severe economic and financial crisis is now also leading to a severe backlash against financial globalization, free trade and the free markets economic model.


But, to paraphrase Churchill, capitalist market economies open to trade and financial flows may be the worst economic regime, apart from the alternative, as non-market economy models have failed.

However, while this crisis does not imply the end of market economy capitalism it has shown the failure of a particular model of capitalism: the laissez faire unregulated (or aggressively deregulated) wild-west model of free market capitalism with lack of prudential regulation and supervision of financial markets and with the lack of proper provision of public goods by governments.

It is the failures of ideas such as the “efficient market hypothesis” that deluded itself about the absence of market failures such as asset bubbles; the “rational expectations” paradigm that clashes with the insights of behavioral economics and finance; the “self-regulation of markets and institutions” that clashes with the classical agency problems in corporate governance that are themselves exacerbated in financial companies by the greater degree of asymmetric information -how can a chief executive or a board monitor the risk-taking of thousands of separate profit-and-loss accounts? Then there are the distortions of compensation paid to bankers and traders.

This crisis also shows the failure of ideas such as the one that securitization reduces systemic risk rather than actually increase it; that risk can properly priced when the opacity and lack of transparency of financial firms and new instruments leads to unpriceable uncertainty rather than priceable risk.

It is clear that the Anglo-Saxon model of supervision and regulation of the financial system has failed. It relied on self-regulation that, in effect, meant no regulation; on market discipline that does not exist when there is euphoria and irrational exuberance; on internal risk management models that fail because – as a former chief executive of Citi put it – when the music is playing you gotta stand up and dance.

Furthermore, the self-regulation approach created rating agencies that had massive conflicts of interest and a supervisory system dependent on principles rather than rules. This light-touch regulation in effect became regulation of the softest-touch.

Thus, all the pillars of Basel II have already failed even before being implemented. Since the pendulum had swung too much in the direction of self-regulation and the principles-based approach, we now need more binding rules on liquidity, capital, leverage, transparency, compensation and so on.

But the design of the new system should be robust enough to counter three types of problems with rules: A tendency toward ‘regulatory arbitrage’ should be borne in mind, as bankers can find creative ways to bypass rules faster than regulators can improve them. Then there is ‘jurisdictional arbitrage’ as financial activity may move to more lax jurisdictions. And finally, ‘regulatory capture’ as regulators and supervisors are often captured - via revolving doors and other mechanisms - by the financial industry. So the new rules will have to be incentive compatible, i.e. robust enough to overcome to these regulatory failures.

disclaimer only internal use..

Monday, January 26, 2009

Memparipurnakan Evolusi Ekonomi Indonesia

Krisis ekonomi adalah proses penyesuaian suatu struktur perekonomian dalam proses evolusinya. Krisis ekonomi mendorong adanya koreksi dari beberapa ekonom sebagai mekanisme adaptasi alamiah untuk memperbaiki “kinerja” perekonomian saat ini. Setiap koreksi merupakan bagian dari proses penyesuaian perekonomian Indonesia terhadap perubahan lingkungan.

Serupa dengan evolusi alamiah mekanisme koreksi dapat berupa proses anagenesis dan cladeogenesis. Pendekatan koreksi terhadap bagian-bagian tertentu dalam suatu sistem perekonomian serupa dengan proses cladeogenesis. Hal ini tampak jelas dalam perekonomian Indonesia pasca krisis 1998. Sementara, pendekatan koreksi terhadap sistem sampai dengan landasan epistimologis ilmu ekonomi merupakan proses koreksi yang serupa dengan proses anagenesis. Kondisi ini pernah terjadi pada peralihan sistem ekonomi orde lama ke orde baru.

Umumnya para ekonom yang masih mempercayai prinsip-prinsip ekonomi ortodoks yang menempatkan manusia sebagai makhluk ekonomi yang rasional menggunakan pendekatan pertama dalam melakukan koreksi terhadap perekonomian. Koreksi terhadap perekonomian dalam pendekatan ini diprioritaskan untuk memperbaiki kinerja sistem perekonomian tanpa meninggalkan prinsip-prinsip dasar homoeconomicus dalam implementasinya. Perbaikan institusi perekonomian baik infrastruktur maupun suprastruktur perekonomian menjadi jalan utama dalam mengkoreksi perekonomian dari krisis ekonomi.

Pendekatan kedua dilakukan melalui pendekatan yang mengkoreksi prinsip-prinsip dalam sistem perekonomian namun juga terhadap metodologi ilmu ekonomi. Para ekonom dengan yang menggunakan pendekatan ini umumnya menolak asumsi rasionalitas yang melekat secara inheren pada mazhab ekonomi ortodoks. Contoh terkini bagaimana implementasi pendekatan kedua ini adalah pembentukkan Grameen Bank di Bangladesh.

Apa yang terjadi di Grameen Bank serupa dengan yang pernah dirintis oleh para ekonom seperti Mubyarto, Dawam Rahardjo dan Sri Edi Swasono. Para ekonom tersebut memiliki perspektif berbeda tentang cara perekonomian Indonesia bekerja dengan metode yang “sangat Indonesia” dan berbeda dengan metode rasionalitas dalam ilmu ekonomi ortodoks. Pendekatan alternatif ini dalam beberapa publikasi dikenal dengan ekonomi pancasila dan demokrasi ekonomi. Dua pendekatan heteorodoks ini diperkenalkan oleh dua ekonom senior dari dua Fakultas Ekonomi terpandang di negeri ini.

Berdasarkan konteks di atas pertanyaan tentang posisi ilmu ekonomi ortodoks maupun heterodoks dalam proses keparipurnaan evolusi ekonomi Indonesia menjadi relevan. Sebelum menjawabnya tidak ada salahnya jika kita melihat kondisi saat ini perekonomian Indonesia. Kondisi saat ini perekonomian Indonesia yang sering pula disebut oleh sebagai hadiah-hadiah masa lalu dari seluruh proses evolusi baik secara anagenesis maupun cladeogenesis. Anagenesis terjadi pada saat perubahan perekonomian orde lama ke orde baru, sementara koreksi sistem perekonomian pasca krisis tahun 1998 menggambarkan cladeogenesis pada perekonomian Indonesia. Selain kondisi saat ini, hal yang tidak kalah pentingnya untuk dipertimbangkan adalah potensi dan lingkungan ekonomi Indonesia di masa depan.

Pada situasi seperti inilah ada baiknya kita melihat bagaimana perkembangan aplikasi ilmu ekonomi heteodoks yang digagas oleh Muhammad Yunus di Bangladesh melalui Grameen Banknya. Dalam berbagai catatan perkembangan Grameen Bank-nya terdapat salah satu simpulan penting yang dapat diangkat yaitu Muhammad Yunus meskipun belum mampu mengembangkan ilmu ekonomi heterodoks yang sesuai dengan negaranya namun beliau mampu mengembangkan aplikasi ilmu ekonomi heterodoks di Bangladesh. Proses tersebut tidak terlepas dari adaptasi baik yang dilakukan oleh Muhammad Yunus melalui pengenalan terhadap kondisi internal masyarakatnya yang memiliki struktur asumsi berbeda dengan struktur masyarakat dalam ilmu ekonomi heterodoks.

Lalu bagaimana dengan Indonesia? Ada baiknya para ekonom mulai lebih jernih dalam melihat persoalan perekonomian Indonesia. Setiap ekonom harus mampu keluar dari kotak mazhab mereka masing-masing dalam melihat karakter pelaku ekonomi di Indonesia yang masih terdiri dari pelaku sektor modern dan sektor tradisional yang saling diklaim oleh para ekonom ortodoks maupun heterodoks terdapat dalam struktur ekonomi yang terpisah satu dengan yang lain. Hal tersebut dikonfirmasi oleh data statistik yang menunjukkan bahwa lebih dari 50% masyarakat Indonesia bekerja di sektor pertanian yang menyumbang tidak lebih dari 30% dari produktivitas nasional saat ini.

Kondisi di atas secara gamblang menunjukkan bahwa anagenesis yang terjadi dalam perekonomian Indonesia tidak terjadi secara sempurna. Proses anagenesis perekonomian Indonesia terjadi secara sektoral atau dapat dianalogikan terjadi hanya pada bagian kepala dan tenggorokan. Kondisi tersebut pasca tahun 1998 ternyata mengalami proses cladeogenesis yang cepat sehingga membentuk kondisi perekonomian Indonesia seperti saat ini. Sementara bagian dada, perut dan organ lain dalam perekonomian Indonesia tampak hanya mengalami cladeogenesis dari struktur perekonomian Indonesia di awal kemerdekaan.

Sejauh ini solusi yang ditawarkan oleh para ekonom ortodoks belum optimal mendorong proses anagenesis perekonomian Indonesia untuk serupa dengan kondisi lingkungan ekonomi baik regional Asia maupun global. Sementara di sisi lain para ekonom heterodoks masih berusaha mempertahankan bentuk struktur tubuh perekonomian Indonesia sama seperti kondisi di awal kemerdekaan yang diklaim sebagai kondisi ideal ekonomi Indonesia. Pencegahan terhadap proses anagesis menjadi salah satu jalan dalam mempertahankan kondisi ideal ini.

Pada situasi di atas diperlukan kearifan dari setiap unsur untuk menentukan arah perekonomian Indonesia apakah akan menyesuaikan diri secara total atau berproses anagenesis atau akan melakukan proses cladeogenesis. Hal ini menjadi suatu agenda besar yang harus diselesaikan oleh setiap pemimpin dan seluruh ekonom di negeri ini dalam memparipurnakan proses evolusi ekonomi Indonesia.