Tuesday, June 16, 2009

Ekonomi Kerakyatan Tidak Sekedar Pro-Poor

(1)Ekonomi kerakyatan menjadi istilah yang jamak saat ini. Klaim tentang siapa pengusung sejati ekonomi kerakyatan berkembang menjadi diskursus yang menarik saat ini. Saling klaim ini menunjukkan bahwa tidak terdapat pengertian yang sama diantara para ekonom tentang sistem ekonomi ini. Selain itu, isu tentang ekonomi kerakyatan ternyata ditanggapi positif oleh rakyat sebagai harapan baru untuk meningkatkan kesejahteraan mereka.
(2)Salah satu calon presiden mendefinisikan ekonomi kerakyatan sebagai sistem ekonomi yang mendukung rakyat miskin dengan jargon pro-poor-nya. Benarkah ekonomi kerakyatan terwakili oleh klaim-klaim dari para capres tersebut? Secara singkat aspek tentang ekonomi kerakyatan akan di bahas secara singkat dalam tulisan ini.
(3)Ekonomi Kerakyatan yang sempat bermetamorfosis menjadi Ekonomi Pancasila merupakan sistem ekonomi yang sangat Indonesia. Hal tersebut disebabakan oleh ciri khas sistem ini yang merupakan buah pemikiran asli ekonom-ekonom Indonesia yang dilembagakan secara formal dalam pasal 33 UUD 1945 (sebelum perubahan). Berdasarkan definisi di atas maka ekonomi kerakyatan sesungguhnya ditunjukkan oleh konsep perekenomian Indonesia yang di susun oleh tiga pilar penting yaitu koperasi (pasal 33 ayat-1), BUMN yang menguasai hajat hidup orang banyak (pasal 33 ayat-2) dan pengelolaan kekayaan alam oleh negara (pasal 33 ayat 3). Sistem ekonomi yang bercirikan pasal 33 UUD 1945 tersebut selanjutnya disebut dengan ekonomi kerakyatan oleh beberapa ekonom Indonesia pada medio tahun 1980-an.
(4)Sistem ekonomi yang disusun sebagai usaha bersama dengan asas kekeluargaan yang sesuai dengan ayat 1 pasal 33 direpresentasikan oleh koperasi. Sebagai badan usaha dengan ciri kebersamaan usaha para anggotanya, koperasi diharapkan dapat menjadi potensi kekuatan ekonomi rakyat. Terlepas dari kelebihan dan kelemahannya, koperasi merupakan jelamaan kekuatan penting rakyat Indonesia yang bermodal lebih kecil dibandingkan dengan sektor usaha lainnya berperan aktif dalam percaturan perekonomian Indonesia. Jika dibandingkan dengan jenis badan usaha lainnya, koperasi merupakan badan usaha yang menjadi ciri khas Indonesia sebagai sebuah bangsa. Institusi-institusi yang terdapat dalam koperasi dinilai merupakan representasi nilai-nilai yang menjadi ciri khas bangsa Indonesia.
(5)Berdasarkan konsep inilah peran sebagian besar rakyat Indonesia yang bermodal kecil terakomodasi dalam miniatur sistem perekonomian Indonesia. Dalam sistem perekonomian Indonesia karakter khas koperasi dibandingkan dengan badan usaha lainnya menjadikan koperasi sebagai badan usaha yang secara penting dalam aksi pencapaian kesejahteraan rakyat. Implementasi peran koperasi terhadap perekonomian di Indonesia pada umumnya dan masyarakat pada khususnya tertuang pada UU No.25/1992 tentang koperasi serta direvitalisasi oleh Inpres 18/1998.
(6)Ekonomi kerakyatan masih memiliki ciri yang lain yang ada pada pasal 33 ayat dua dan tiga. Cabang-cabang produksi serta pengelolaan bumi, air dan kekayaan yang ada didalamnya secara optimal dikuasai oleh negara dan bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Ciri tersebut didefinisikan dengan cara nasionalisasi seluruh cabang produksi yang penting bagi rakyat seperti bidang energi, telekomunikasi, dan transportasi. Sementara itu, ayat tiga pada pasal ini mengarahkan kekuasaan terhadap kekayaan negara harus dapat dimanfaatkan untuk kepentingan rakyat.
(7)Klaim tentang konsep pro-poor sebagai ekonomi kerakyatan dalam satu sisi memang lebih implementatif. Namun hal tersebut justru mengaburkan definisi tentang ekonomi kerakyatan yang memiliki dimensi lebih luas dibandingkan dengan konsep pro-poor. Pro-poor policy merupakan kebijakan yang masih sangat dangkal dibandingkan dengan ekonomi kerakyatan. Konsep pro poor selama ini “masih” terbatas pada upaya mempertahankan konsumsi masyarakat agar tidak jatuh dalam kategori miskin. Manajemen harga, mekanisme transfer seperti BLT adalah beberapa cara untuk mempertahankan tingkat konsumsi masyarakat. Tingkat konsumsi masyarakat (C) dipertahankan dengan manajemen harga p, serta meningkatkan aksesibilitas qi dengan (8)BOS, biaya kesehatan murah dan sejenisnya.
Hal tersebut berbeda dengan ekonomi kerakyatan. Kondisi eksisting struktur pasar yang tidak sempurna dengan kecenduran monopolistik menempatkan posisi masyarakat dalam posisi yang lebih lemah. Hal ini hanya bisa ditandingi lewat koperasi. Sebagai usaha bersama rakyat, koperasi menjadi media pemberdayaan masyarakat. Hal ini tentunya berdimensi yang lebih luas dibandingkan kebijakan pro-poor yang diagung-agungkan itu.
Pemberdayaan dalam konsep ekonomi kerakyatan tidak hanya terbatas pada pemberian bantuan modal yang selama ini telah diklaim sebagai mekanisme pemberdayaan usaha rakyat. Pemberdayaan dalam ekonomi rakyat melalui koperasi tidak terbatas pada modal, tetapi pada daya tawar rakyat dalam strutkur pasar input dan output. Pemberdayaan yang optimal inilah yang ditawarkan oleh ekonomi kerakyatan dibandingkan konsep pemberdayaan sempit perekonomian pro kemiskinan.

Friday, June 5, 2009

Ekonomi Rakyat, Ekonomi Pro-Poor dan Ekonomi Liberal: Sebuah Jargon Politik

(1) Debat tentang sistem ekonomi neoliberal versus kerakyatan yang diikuti oleh salah satu cawapres di sebuah TV BUMN pada kamis malam akhir bulan mei lalu mengerucut pada satu hal yaitu peran pemerintah. Hal tersebut patut disayangkan karena menunjukkan kekurangpahaman terhadap topik debat tersebut khususnya ekonomi kerakyatan. Sesungguhnya inti debat antara jargon ekonomi kerakyatan dan ekonomi neoloberal tidak boleh dibatasi pada debat tentang peran negara dan pasar dalam perekonomian. Ungkapan tentang peran negara sebagai wasit dalam perekonomian merujuk pada buku terkenal milik Milton Friedman Capitalism and Freedom. Dalam buku tersebut negara dianalogikan sebagai wasit yang memiliki peran sebagai institusi yang menjamin efektivitas peraturan perundangan dalam negara melalui penegakan hukum.

(2) Negara dalam buku tersebut juga tidak boleh memberi keuntungan pada satu pihak relatif terhadap pihak lainnya. Seperti layaknya dalam pertandingan sepakbola, seorang wasit dilarang salah memberi keputusan, karena dapat merugikan salah satu kubu dan akan menguntungkan kubu yang lain. Bahkan seorang wasit(negara) tidak boleh dengan tidak sengaja mengenai bola ketika seorang pemain kubu tertentu mengumpan bola.

(3) Langkah ekstrem ini selanjuntya dituangkan dalam bentuk konsensus Washington yang ternama tersebut. Konsensus Washington merupakan jawaban awal tata dunia baru (pada saat itu) pasca runtuhnya komunisme Uni Soviet. Sejak era itu, tata dunia baru termasuk ekonomi dikelola secara kolektif oleh seluruh negara melalui lembaga multilateral berupa Bank Dunia dan IMF. Konsensus Washington adalah tonggaknya. Jika kemudian konsensus ini condong ke sistem ekonomi liberal disebabkan beberapa best practices mengikuti sistem ekonomi Inggris dan Amerika selama pemerintahan Ronald Reagen dan Margaret Thatcher. Ciri negara sebagai wasit memang cukup kental di sini.

(4) Marilah kita beralih pada Ekonomi Kerakyatan yang sempat bermetamorfosis menjadi Ekonomi Pancasila. Sistem ekonomi ini merupakan sistem perekonomian yang sangat Indonesia. Definisi ini saat ini mulai dikaburkan dengan pendapat yang menyamakan ekonomi kerakyatan dengan pro poor policy. Pro-poor policy merupakan kebijakan yang masih sangat dangkal dibandingkan dengan ekonomi kerakyatan. Pro poor hanya berusaha mengentaskan masyarakat dari jurang kemiskinan. Hal tersebut cukup dialkukan dengan mengurangi beban konsumsi masyarakat. Harga distabilkan, ada kompensasi seperti BLT adalah beberapa caranya. Logikanya untuk menaikkan C masyarakat dengan kombinasi barang konsumsi cara untuk mengangkatnya dari jurang kemiskinan adalah menstabilkan p, meningkatkan aksesibilitas q dengan BOS, biaya kesehatan murah dll. Pro poor secara umum masih berada di ranah itu.

(4a)Hal tersebut berbeda dengan ekonomi kerakyatan. Perbedaan terletak sistem ini merupakan ciri khas bangsa Indonesia. Pemikiran ini oleh ekonom-ekonom Indonesia yang dilembagakan secara formal dalam pasal 33 UUD 1945 (sebelum perubahan). Dalam hal ini perekenomian Indonesia di susun oleh tiga aspek penting yaitu koperasi (pasal 33 ayat-1), BUMN (pasal 33 ayat-2) dan pengelolaan kekayaan alam oleh negara (pasal 33 ayat 3). Oleh karena itu, ekonomi kerakyatan tidak boleh direduksi hanya dengan membahas BUMN.

(5) Selain pembahasan tentang BUMN, hal yang tidak kalah pentingnya adalah implementasi kekuatan rakyat lewat media koperasi. Ada pemberdayaan masyarakat lewat media koperasi. Terlepas dari kelebihan dan kelemahannya, koperasi merupakan jelamaan kekuatan penting rakyat Indonesia yang nir-modal dalam berperan serta dalam percaturan perekonomian Indonesia. Pasar persaingan yang tidak sempurna dengan kecenduran monopolistik hanya bisa ditandingi lewat koperasi. Unsur pemberdayaan rakyat terletak di sini. Hal tersebut lebih luas dibandingkan kebijakan pro-poor yang diagung-agungkan itu. Jika dilihat dari aspek normatif dibandingkan dengan jenis badan usaha lainnya, koperasi merupakan badan usaha yang menjadi ciri khas Indonesia sebagai sebuah bangsa. Terlepas dari definisi nilai-nilai bangsa Indonesia, institusi-institusi yang terdapat dalam koperasi dinilai merupakan representasi nilai-nilai yang menjadi ciri khas bangsa Indonesia.

(6) Hal tersebut tampak dari definisi koperasi sebagai badan usaha yang pemilik dan anggotanya juga merupakan pelanggan badan usaha tersebut (Ropke, 1987). Sementara itu, Hanel (1989) mendefinisikan koperasi sebagai organisasi yang bertujuan memberikan profit kepada anggota melalui kegiatan ekonomi yang dilaksanakan secara bersama.

(7) Berdasarkan konsep inilah miniatur sistem perekonomian Indonesia berupa suatu usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan ditunjukkan oleh badan usaha koperasi. Dalam sistem perekonomian Indonesia karakter khas koperasi dibandingkan dengan badan usaha lainnya menjadikan koperasi sebagai badan usaha yang secara normatif penting dalam pencapaian kesejahteraan rakyat. Implementasi peran koperasi terhadap perekonomian di Indonesia pada umumnya dan masyarakat pada khususnya tertuang pada UU No.25/1992 tentang koperasi.

(8) Ekonomi kerakyatan masih memiliki ciri yang lain yang ada pada pasal 33 ayat 3, pengelolaan bumi, air dan kekayaan yang ada didalamnya secara optimal harus bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Namun, sejauh ini pengelolaan itu belum optimal dalam mensejahterakan rakyat. Hal tersebut disebebakan oleh satu hal penting yaitu menyandarkan diri pada harga internasional padahal berdagang dengan negeri sendiri. Dasar paradigma tersebut diambil dengan tujuan untuk menjunjung tinggi prinsip-prinsip perdagangan bebas dengan berusaha menghindari pemberian subsidi berlebihan pada sektor domestik.

(9) Dalam perekembangannya prinsip-prinsip perlindungan terhadap industri domestik merupakan isu yang tidak kunjung selesai dalam pembahasan perundingan organisasi perdagangan dunia (WTO). Beberapa negara maju yang ditengarai mengusung sisitem neoliberal juga tidak mengimplementaisknnya secara konsekuen. Namun hal tersebut berbeda dengan Indonesia, prinsip menyandarkan harga kebutuhan domestik (BBM misalnya) pada harga internasional justru kontradiktif terhadap upaya penguatan sektor domestik. Hal tersebut disebabkan oleh tidak adanya upaya struktural untuk meningkatkan daya saing. Usaha untuk mencapai kesejahteraan rakyat seperti jauh panggang dari api.

(10) Berdasarkan uraian tersebut, mendebatkan jargon ekonomi neoliberal dengan ekonomi kerakyatan yang mengerucutkan permasalahan pada revitalisasi peran negara justru merupakan upaya mereduksi arti ekonomi kerakyatan sendiri. Pasal 33 yang seharusnya menjadi dasar sistem ekonomi kerakyatan tidak dapat diintepretasikan hanya sebagai upaya penguatan peran negara. Di sisi lain, jaminan hak dan kewajiban aktivitas ekonomi yang seimbang antara pelaku ekonomi perlu dilakukan oleh negara. Kombinasi yang baik antara peran negara sebagai wasit yang patuh terhadap konstitusinya dalam seluruh aspek aktivitas ekonomi harus selaras dengan konsistensi mengutamakan kesejahteraan rakyat yang disertai diplomasi ekonomi internasional yang kuat. Kondisi inilah yang seharusnya dapat diciptakan sehingga debat tidak akan hanya menjadi jargon dangkal dalam kampanye pemilihan presiden dan wakil presiden Indonesia 2009-2014.