Friday, July 17, 2009

Perekonomian Nir-Ruh

Tanda-tanda kemenangan salah satu pasangan presiden memberikan harapan terhadap status quo perekonomian Indonesia. Hal tersebut terindikasi dari sekitar 60 persen masyarakat yang mendukung dilanjutkannya pengelolaan perekonomian status quo tersebut. Ilusi jargon pada masyarakat Indonesia yang penghindar risiko (risk averse) adalah kombinasi sempurna untuk menjelaskan bagaimana sekitar 105 juta pemilih di Indonesia menentukan pilihannya.

Ilusi jargon semakin terasa karena ekonomi hanya dipakai sebagai salah satu isu untuk menggapai kekuasaan. Pada konteks ini hubungan politik dan ekonomi menjadi sekedar politisasi ekonomi. Ekonomi tidak lagi dipandang tentang bagaimana cara mensejahterakan masyarakat namun menjadi salah satu instrumen untuk memperoleh kekuasaan. Situasi ini tidak dapat dilepaskan dari dominasi para politisi oportunis dibandingkan para ekonom dan politisi. Ekonom dan politisi berada dalam posisi melegitimasi hasrat-hasrat politik para politisi oportunis.

Hal tersebut sangat terasa karena kemiskinan filosofi ekonomi dan politik sebagai dasar menjalankan perekonomian. Penolakan sebutan neoliberalisme tanpa menunjukkan secara tegas dasar filosofi pengelolaan perekonomian status quo tersebut menunjukkan hal tersebut tidak lebih hanya sebagai pragmatisme politik di Indonesia. Tujuan utama sangat terbatas hanya untuk memenangkan kekuasaan. Dalam situasi ini, para oportunis politik telah membutakan para ekonom dan politisi dari landasan filosofinya.

Pengkerdilan terhadap peran filosofi politik dan ekonomi mampu dicitrakan dengan baik oleh para oportunis politik Indonesia sebagai jalan meraih kekuasaan. Situasi ini tersemai dengan baik oleh hipokrasi para ekonom dan politsi itu sendiri. Hipokrasi tersebut telah melacurkan filosofi utama ekonomi dan politik dalam kemasan penggapaian kekuasaan sebagai pengabdian pada negara.

Penyikapan para politisi terhadap BLT menunjukkan lemahnya fundamental paradigma ekonomi maupun politik di Indonesia. Ketika salah satu parta besar menggulirkan kontroversi tentang paradigma pemberian BLT, ternyata lemparan paradigma tersebut dalam diskursus publik ternyata menjadi blunder bagi pencitraan partai tersebut. Menyadari tingkat pencitraan menurun, kemudian isu BLT tersebut diputarbalikkan kembali tanpa dasar paradigma yang jelas. Paradigma yang digulirkan pada awalnya yaitu bagaimana membangun bangsa ini dengan memberi kail atau ikan menjadi mentah karena alasan pencitraan tersebut.

Kemiskinan terhadap ideologi, filosofi, dan paradigma konstitusi menjadi nyata jika memperhatikan penglolaan negara ini. Keberpihakan pada masyarakat yang memberdayakan tergantikan oleh uluran donasi pemerintah kepada masyarakat. Dalam tataran teknis lainnya, paradigma inkonstitusional yang dimiliki penyelenggara negara menyebabkan hutang pemerintah saat ini memiliki sisi lain mata pedang yang siap menikam kualitas perekonomian negara ini. Beberapa contoh tersebut adalah sedikit gambaran paradigma parsial yang dimiliki oleh pengelola negara ini dan ternyata justru sangat inkonsitusional.

Pemberian BLT yang awalnya dimaksudkan sebagai mekanisme kompensasi kepada masyarakat akibat kenaikan harga BBM, ternyata masih tetap dilakukan sampai dengan hari-hari menjelang pemilu legislatif. Pengabaian paradigma demi pencitraan politik dalam hal ini menunjukkan miskinnya paradigma tentang pengelolaan kesejahteraan yang sesuai dengan pasal 27 dan 34 UUD 1945. Bagaikan binatang peliharaan, memberikan makanan tanpa mengajarkan bagaimana mendapatkan makanan hanya akan tetap membuat terdengarnya teriakan kelaparan keesokan harinya.

Fakta lain menunjukkan bahwa pengelolaan hutang negara saat ini memiliki filosofi yang inkonstitusional. Klaim tentang kemampuan membayar Indonesia yang bagus lewat indikator rasio PDB terhadap hutang ternyata tidak mampu meyakinkan investor untuk memiliki surat hutang Indonesia dengan harga yang murah. Meskipun secara kasat mata tidak ada yang aneh dalam pengelolaan hutang tersebut, namun terdapat implikasi inkonstitusional yang menjadi konsekuensinya.

Konsekuensi kebijakan tersebut terhadap perekonomian Indonesia secara filosofi ternyata sangat inkonstitusional. Hal tersebut setidaknya terlihat pada konsekuensi tegarnya suku bunga bank untuk menyaingi besaran imbal hasil surat hutang negara. Konsekuensi ekonomi riil yang menanggung beban bunga bank komersial adalah konsekuensi inkonstitusional karena telah mengkerdilkan ayat 1 pasal 33 UUD 1945. Dalam perspektif antargenerasi, generasi mendatang adalah hak waris resmi hutang pemerintah saat ini. Sementara itu, generasi masa depan hanya mewarisi gelembung PDB akibat transaksi sektor keuangan jangka pendek sebagai kemampuan membayar hutang.

Keberpihakan para pengelola ekonomi untuk menggapai kekuasaan terhadap filosofi konstitusi merupakan aspek penting keberlanjutan Indonesia. Konstitusi Indonesia adalah kesepakatan bangsa yang mampu menghilangkan berbagai ikatan primordial dan perbedaan perspektif agama dalam pengelolaan ekonomi negara. Oleh karena itu, seharusnya hal yang membedakan antar partai dan antar capres hanyalah paradigma teknis pengelolaannya, sementara pada tataran filosofi dan ideologi sebagi ruhnya harus tetap konsisten terhadap konstitusi Indonesia. Cara inilah jalan untuk memperkaya ideologi dan filosofi ekonomi politik Indonesia.

Monday, July 13, 2009

Paradigma Ekonomi Maritim yang Terlupakan

(1) Hal yang sedikit terlewatkan dari agenda ekonomi para Capres beberapa waktu yang lalu adalah aspek geografis pembangunan ekonomi. Setidaknya sejak negara ini merdeka, pembangunan ekonomi dengan paradigma kontinental menjadi paradigma yang dominan. Hal tersebut tampak pada fokus pembangunan yang menitikberatkan infrastruktur daratan seperti jalan, jembatan dibandingkan dengan infrastruktur maritim. Secara implisit sebenarnya dalam paradigma kontinental ini, sungai dan laut dipandang sebagai hambatan pembangunan ekonomi.

(2) Isu mengenai cara menyatukan bangsa pada kasus negara yang memiliki cakupan daerah yang luas adalah isu penting dalam memberikan solusi terhadap peningkatan kesejahteraan ekonomi masyarakat. Amerika Serikat merupakan negara yang menyatukan daerahnya yang cukup luas melalui jalur rel kereta api. Jalur kereta api tersebut adalah sarana yang menghubungkan Amerika Serikat bagian selatan dan Amerika Serikat bagian utara. Begitu pun halnya di Cina, jalan tol yang menghubungkan Cina bagian timur sampai dengan Cina bagian barat merupakan nadi penting bagi kemajuan pembangunan ekonomi di Cina pada saat ini.

(3) Beberapa pemikir Indonesia yang visoner mulai menyadari hal ini. Setidaknya sampai dengan saat ini, kesadaran bahwa interaksi perekonmian bangsa Indonesia masih belum bersinergi secara utuh menjadi salah satu alternatif solusi penting dalam optimasi pembangunan ekonomi Indonesia. Bermunculannya konsep penyatuan pulau-pulau melalui terowongan bawah laut maupun jembatan menjadi gagasan penting dalam menyatukan Indonesia.

(4) Indikasi nyata konsep penyatuan Indonesia adalah pembangunan Jembatan Suramadu yang menghubungkan pulau Jawa dan Madura. Jembatan Suramadu juga menjadi tonggak penyatuan seluruh Indonesia dalam satu daratan yang luas yang dipisahkan oleh lautan. Paradigma ini mentasbihkan cara pandang bangsa Indonesia yang menggunakan pendekatan cara pandang kontinental.

(5) Jika sedikit melihat ke belakang, perubahan paradigma tidak dapat dilepaskan dari sejarah penjajahan Belanda di Indonesia. Tanda-tanda pengkerdilan sistem maritim dimulai sejak perjanjian Bongaya antara VOC dengan kerajaan di Sulawesi Selatan. Di Pulau Jawa upaya pemindahan kekuasaan dari Demak ke Kertasura lalu kemudian ke Surakarta merupakan salah satu upaya lain perubahan paradigma maritim ke peradigma kontnental. Kebudayaan maritim Majapahit, Sriwijaya, Gowa, Aceh, Cirebon, sampai dengan Ternate dan Tidore yang memiliki armada laut kuat mendadak tenggelam sejak penjajahan Belanda berlangsung.

(6) Perubahan kebudayaan maritim ke kebudayaan kontinental merupakan hasil nyata penjajahan Belanda kepada bangsa Indonesia. Terdapat suatu upaya sistematis yang dilakukan Belanda yang seakan mencoba membatasi lingkup bangsa Indonesia hanya terbatas pada daratan. Hal tesebut juga terus terwariskan kepada para pejuang yang mencoba membebaskan negara ini dari penjajahan. Kondisi inilah yang menyebabkan penjajahan Belanda terhadap Indonesia brlangsung langgeng selama 350 tahun.

(7) Warisan ini kemudian terlegitimasi menjadi suatu ideologi membangun perekonomian Indonesia. Meskipun demikian, ideologi pembangunan kontinental tentu tidak sepenuhnya menjadi pendekatan yang salah jika diterapkan. Hal tersebut disebabkan karena Indonesia masih memiliki wilayah pulau-pulau dengan daratan yang luas. Selain itu, ada bagian bangsa Indonesia yang memiliki kultur kontinental. Beberapa suku bangsa di Indonesia seperti Papua, Timor, Batak, Dayak dan Toraja adalah beberapa representasinya. Akan tetapi, kurang bijak tentunya apabila menjadikan ideologi pembangunan kontinental sebagai ideologi arus utama dalam pembangunan perekonomian Indonesia.

(8) Kondisi ini kemudian seakan melupak fakta lain bahwa terdapat beberapa suku bangsa yang kental budaya maritimnya. Beberapa suku bangsa tersebut antara lain yaitu Jawa, Sunda, Melayu, Madura, Bali, Bugis, sampia dengan Ternate dan Tidore. Selain itu beberapa fakta menunjukkan bahwa sebagian besar pusat-pusat aktivitas perekonomian di Indonesia terletak sangat dekat dengan laut.

(9) Hal tersebut tidak dapat dilepaskan dari bangun relasi antar pulau di Indonesia yang sudah terjalin sejak lama. Desain pusat aktivitas perekonomian dan sosial di nusantara mendukung hal tersebut. Kenyataan bahwa sebagian besar pusat-pusat aktivitas ekonomi Indonesia menghadap ke laut bagian dalam wilayah Indonesia adalah bukti anggunnya desain tersebut.

(10) Sayangnya, relasi ekonomi dan sosial antar pulau yang telah terjalin lama tidak mampu dipertahankan karena minimnya visi maritim pemimpin Indonesia. Penurunan kualitas perdagangan antar pulau dimulai sejak tahun 1957/1958 (BIES, 1966). Dalam catatan tersebut, ditemukan fakta bahwa kapasitas pelabuhan tidak ditingkatkan seiring dengan meningkatnya volume perdagangan antar pulau di Indonesia.

(11) Inilah pangkal utama salah kaprah pembangunan Indonesia sampai dengan saat ini. Tidak tersedianya infrastruktur laut yang memadai menyebabkan perdagangan antar pulau di Indonesia yang sudah terdesain dengan baik tidak berkembang secara optimal. Di sisi lain, luas wilayah pulau merupakan unsur pendukung yang menggoda pemimpin untuk mengimplementasikan paradigma pembangunan ekonomi yang berbasis kontinental.

(12) Hal ini menjadi semakin kompleks karena ketidaksadaran mengimplementasikan paradigma ini telah meletakkan pulau jawa sebagai pusatnya. Sikap abai terhadap menjaga relasi ekonomi dan sosial antar pulau selanjutnya menyebabkan ketimpangan ekonomi antara Jawa dan luar Jawa. Ketidakmerataan ini merupakan PR serius bagi presiden terpilih untuk melihat persoalan pembangunan perekonomian dalam perspektif yang lebih luas. Revitalisasi pembangunan ekonomi dengan tidak melewatkan paradigma maritim dalam membangun ekonomi merupakan kekuatan utama bangsa Indonesia ke depan.

Friday, July 10, 2009

Tentang Pengelolaan BBM Indonesia

Bahan Bakar Minyak (BBM) merupakan salah kebutuhan pokok masyrakat Indonesia. Tidak peduli rakyat miskin atau kaya, seluruhnya membutuhkan BBM untuk menjalani hdiup dan kehidupannya. Meskipun demikian setiap rakyat Indonesia membutuhkan BBM dengan derajat yang berbeda-beda satu dengan yang lain. Oleh karena itu, wajar jika kebutuhan BBM merupakan kebutuhan yang harus dijamin pemerintah ketersediaannya.

Disebabkan oleh sebagian penduduk Indonesia berada di bawah garis kemiskinan, maka terdapat kewajiban pemerintah untuk menyediakan BBM dengan harga yang lebih murah. Hal tersebut bermanfaat untuk memberikan jaminan aksesibilitas BBM terhadap masyarakat. Pemerintah menggunakan mekanisme subsidi untuk menjamin ketersediaan BBM untuk masyarakat. BBM dijual kepada masyarakat dengan harga yang lebih murah dibandingkan dengan harga pasar. Selisih harga tersebut merupakan besaran subsidi yang diberikan oleh pemerintah untuk menjamin keterjangkuan BBM pada masyarakat.

Mekanisme subsidi merupakan instrumen pemerintah dalam kerangka besar kebijakan fiskal. Secara umum, kebijakan fiskal merupakan kebijakan yang berkaitan dengan penerimaan dan pengeluaran anggaran negara. Subsidi BBM dalam postur penganggaran APBN merupakan salah satu komponen pengeluaran pemerintah yang dapat berfluktuasi besarannya akibat perubahan harga komponen minyak mentah dunia. Oleh karena itu, jika harga minyak dunia memiliki kecenderungan naik maka terdapat potensi besaran subsidi BBM akan memiliki tren meningkat begitupun sebaliknya.

Penetapan harga acuam minyak Indonesia tidak sepenuhnya ditentukan oleh fluktuasi indikator harga minyak utama dunia. Penetapan harga minyak Indonesia (Indonesia Crude Price/ICP) merupakan rata-rata tertimbang indikator harga minyak di pasar Asia. Sehingga perubahan harga mniyak dunia masih memiliki pengaruh jeda terhadap perubahan besaran subsidi pemerintah untuk BBM. Pada APBN 2009, ICP diasumsikan pada kisaran 80 dolar setiap barel.

Secara teknis, cakupan jenis BBM yang disubsidi adalah bensin (premium), solar dan minyak tanah. Berdasarkan asumsi APBN kuantitas pemakaian perhari untuk ketiga jenis BBM tersebut berturut-turut adalah 50 juta liter, 37 juta liter dan 22 juta liter. Berdasarkan suatu asumsi APBN total subsidi yang harus dikeluarkan pemerintah untuk pemakaian BBM selama tahun 2008 lalu dengan asumsi ICP sebesar $110,6 dan kurs sebesar Rp9196 adalah 146 triliun rupiah.

Dengan menggunakan asumsi di atas biaya produksi BBM yang meliputi penyedotan minyak dari dalam bumi, proses minyak mentah menjadi BBM serta biaya pengangkutan mencapai rata-rata Rp1454 per liter. Harga produksi ini berlaku pada 927.000 barel per hari yang dilakukan oleh Indonesia. Namun di sisi lain, masih terdapat besaran impor BBM untuk mencukupi kebutuhan konsumsi dalam negeri yang mencapai 1,5 juta barel.

Jika kita mengambil contoh kasus pada asumsi pemerintah dalam APBN-P 2008 mendapatkan penerimaan dari sektor minyak bumi sebesar 179,5 triliun. Berdasarkan asumsi produksi sebesar 927.000 barel per hari (bph) seharusnya pemerintah mendapatkan penghasilan sebesar 292,507 triliun. Potensi tersebut diperoleh dengan mengalikan produksi 927.000 dengan kurs Rp9196 dan harga minyak $110,6 selama 365 hari. Artinya, rasio realisasi pendapatan minyak bumi terhadap potensi pendapatannya hanya sekitar 52 persen.

Dengan pola manajemen minyak bumi tersebut (realisasi penerimaan minyak hanya 52%) maka kenaikan harga minyak sebesar $120, akan berpotensi membuat anggaran pemerintah mengalami defisit. Sehingga dengan harga minyak mencapai $120, penerimaan negara hanya akan bertambah sebesar 39 triliun. Di sisi lain subsidi akan membengkak hingga mencapai 180 triliun.

Berdasarkan simulasi sederhana ini, dengan asumsi kontrak bagi hasil yang “paling merugikan” antara pemerintah dan perusahaan minyak sebesar 70:30, maka pemerintah dapat memperoleh tambahan pendapatan dari sektor minyak sebesar 99 triliun. Dengan tambahan 99 triliun pemerintah justru pembengkakan subsidi hinggas mencapai besaran 180 triliun dapat diatasi. Dalam kondisi ini bahkan pemerintah mendapatkan pendapatan windfall sebesar 44 triliun. Berdasarkan penjelasan di atas, sumber utama inefisiensi anggaran terletak pada kebocoran realiasai pendapatan minyak bumi. Dengan mengurangi kebocoran penerimaan migas sebesar 1 persen saja, pemerintah sudah dapat menambah penerimaan negara sebesar 2 triliun. Dalam kondisi ini sebaiknya pemerintah perlu memikirkan kembali pola pengelolaan BBM di Indonesia.

www.hery-sulistio.blogspot.com