Tanda-tanda kemenangan salah satu pasangan presiden memberikan harapan terhadap status quo perekonomian Indonesia. Hal tersebut terindikasi dari sekitar 60 persen masyarakat yang mendukung dilanjutkannya pengelolaan perekonomian status quo tersebut. Ilusi jargon pada masyarakat Indonesia yang penghindar risiko (risk averse) adalah kombinasi sempurna untuk menjelaskan bagaimana sekitar 105 juta pemilih di Indonesia menentukan pilihannya.
Ilusi jargon semakin terasa karena ekonomi hanya dipakai sebagai salah satu isu untuk menggapai kekuasaan. Pada konteks ini hubungan politik dan ekonomi menjadi sekedar politisasi ekonomi. Ekonomi tidak lagi dipandang tentang bagaimana cara mensejahterakan masyarakat namun menjadi salah satu instrumen untuk memperoleh kekuasaan. Situasi ini tidak dapat dilepaskan dari dominasi para politisi oportunis dibandingkan para ekonom dan politisi. Ekonom dan politisi berada dalam posisi melegitimasi hasrat-hasrat politik para politisi oportunis.
Hal tersebut sangat terasa karena kemiskinan filosofi ekonomi dan politik sebagai dasar menjalankan perekonomian. Penolakan sebutan neoliberalisme tanpa menunjukkan secara tegas dasar filosofi pengelolaan perekonomian status quo tersebut menunjukkan hal tersebut tidak lebih hanya sebagai pragmatisme politik di Indonesia. Tujuan utama sangat terbatas hanya untuk memenangkan kekuasaan. Dalam situasi ini, para oportunis politik telah membutakan para ekonom dan politisi dari landasan filosofinya.
Pengkerdilan terhadap peran filosofi politik dan ekonomi mampu dicitrakan dengan baik oleh para oportunis politik Indonesia sebagai jalan meraih kekuasaan. Situasi ini tersemai dengan baik oleh hipokrasi para ekonom dan politsi itu sendiri. Hipokrasi tersebut telah melacurkan filosofi utama ekonomi dan politik dalam kemasan penggapaian kekuasaan sebagai pengabdian pada negara.
Penyikapan para politisi terhadap BLT menunjukkan lemahnya fundamental paradigma ekonomi maupun politik di Indonesia. Ketika salah satu parta besar menggulirkan kontroversi tentang paradigma pemberian BLT, ternyata lemparan paradigma tersebut dalam diskursus publik ternyata menjadi blunder bagi pencitraan partai tersebut. Menyadari tingkat pencitraan menurun, kemudian isu BLT tersebut diputarbalikkan kembali tanpa dasar paradigma yang jelas. Paradigma yang digulirkan pada awalnya yaitu bagaimana membangun bangsa ini dengan memberi kail atau ikan menjadi mentah karena alasan pencitraan tersebut.
Kemiskinan terhadap ideologi, filosofi, dan paradigma konstitusi menjadi nyata jika memperhatikan penglolaan negara ini. Keberpihakan pada masyarakat yang memberdayakan tergantikan oleh uluran donasi pemerintah kepada masyarakat. Dalam tataran teknis lainnya, paradigma inkonstitusional yang dimiliki penyelenggara negara menyebabkan hutang pemerintah saat ini memiliki sisi lain mata pedang yang siap menikam kualitas perekonomian negara ini. Beberapa contoh tersebut adalah sedikit gambaran paradigma parsial yang dimiliki oleh pengelola negara ini dan ternyata justru sangat inkonsitusional.
Pemberian BLT yang awalnya dimaksudkan sebagai mekanisme kompensasi kepada masyarakat akibat kenaikan harga BBM, ternyata masih tetap dilakukan sampai dengan hari-hari menjelang pemilu legislatif. Pengabaian paradigma demi pencitraan politik dalam hal ini menunjukkan miskinnya paradigma tentang pengelolaan kesejahteraan yang sesuai dengan pasal 27 dan 34 UUD 1945. Bagaikan binatang peliharaan, memberikan makanan tanpa mengajarkan bagaimana mendapatkan makanan hanya akan tetap membuat terdengarnya teriakan kelaparan keesokan harinya.
Fakta lain menunjukkan bahwa pengelolaan hutang negara saat ini memiliki filosofi yang inkonstitusional. Klaim tentang kemampuan membayar Indonesia yang bagus lewat indikator rasio PDB terhadap hutang ternyata tidak mampu meyakinkan investor untuk memiliki surat hutang Indonesia dengan harga yang murah. Meskipun secara kasat mata tidak ada yang aneh dalam pengelolaan hutang tersebut, namun terdapat implikasi inkonstitusional yang menjadi konsekuensinya.
Konsekuensi kebijakan tersebut terhadap perekonomian Indonesia secara filosofi ternyata sangat inkonstitusional. Hal tersebut setidaknya terlihat pada konsekuensi tegarnya suku bunga bank untuk menyaingi besaran imbal hasil surat hutang negara. Konsekuensi ekonomi riil yang menanggung beban bunga bank komersial adalah konsekuensi inkonstitusional karena telah mengkerdilkan ayat 1 pasal 33 UUD 1945. Dalam perspektif antargenerasi, generasi mendatang adalah hak waris resmi hutang pemerintah saat ini. Sementara itu, generasi masa depan hanya mewarisi gelembung PDB akibat transaksi sektor keuangan jangka pendek sebagai kemampuan membayar hutang.
Keberpihakan para pengelola ekonomi untuk menggapai kekuasaan terhadap filosofi konstitusi merupakan aspek penting keberlanjutan Indonesia. Konstitusi Indonesia adalah kesepakatan bangsa yang mampu menghilangkan berbagai ikatan primordial dan perbedaan perspektif agama dalam pengelolaan ekonomi negara. Oleh karena itu, seharusnya hal yang membedakan antar partai dan antar capres hanyalah paradigma teknis pengelolaannya, sementara pada tataran filosofi dan ideologi sebagi ruhnya harus tetap konsisten terhadap konstitusi Indonesia. Cara inilah jalan untuk memperkaya ideologi dan filosofi ekonomi politik Indonesia.
Friday, July 17, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment