(1) Hal yang sedikit terlewatkan dari agenda ekonomi para Capres beberapa waktu yang lalu adalah aspek geografis pembangunan ekonomi. Setidaknya sejak negara ini merdeka, pembangunan ekonomi dengan paradigma kontinental menjadi paradigma yang dominan. Hal tersebut tampak pada fokus pembangunan yang menitikberatkan infrastruktur daratan seperti jalan, jembatan dibandingkan dengan infrastruktur maritim. Secara implisit sebenarnya dalam paradigma kontinental ini, sungai dan laut dipandang sebagai hambatan pembangunan ekonomi.
(2) Isu mengenai cara menyatukan bangsa pada kasus negara yang memiliki cakupan daerah yang luas adalah isu penting dalam memberikan solusi terhadap peningkatan kesejahteraan ekonomi masyarakat. Amerika Serikat merupakan negara yang menyatukan daerahnya yang cukup luas melalui jalur rel kereta api. Jalur kereta api tersebut adalah sarana yang menghubungkan Amerika Serikat bagian selatan dan Amerika Serikat bagian utara. Begitu pun halnya di Cina, jalan tol yang menghubungkan Cina bagian timur sampai dengan Cina bagian barat merupakan nadi penting bagi kemajuan pembangunan ekonomi di Cina pada saat ini.
(3) Beberapa pemikir Indonesia yang visoner mulai menyadari hal ini. Setidaknya sampai dengan saat ini, kesadaran bahwa interaksi perekonmian bangsa Indonesia masih belum bersinergi secara utuh menjadi salah satu alternatif solusi penting dalam optimasi pembangunan ekonomi Indonesia. Bermunculannya konsep penyatuan pulau-pulau melalui terowongan bawah laut maupun jembatan menjadi gagasan penting dalam menyatukan Indonesia.
(4) Indikasi nyata konsep penyatuan Indonesia adalah pembangunan Jembatan Suramadu yang menghubungkan pulau Jawa dan Madura. Jembatan Suramadu juga menjadi tonggak penyatuan seluruh Indonesia dalam satu daratan yang luas yang dipisahkan oleh lautan. Paradigma ini mentasbihkan cara pandang bangsa Indonesia yang menggunakan pendekatan cara pandang kontinental.
(5) Jika sedikit melihat ke belakang, perubahan paradigma tidak dapat dilepaskan dari sejarah penjajahan Belanda di Indonesia. Tanda-tanda pengkerdilan sistem maritim dimulai sejak perjanjian Bongaya antara VOC dengan kerajaan di Sulawesi Selatan. Di Pulau Jawa upaya pemindahan kekuasaan dari Demak ke Kertasura lalu kemudian ke Surakarta merupakan salah satu upaya lain perubahan paradigma maritim ke peradigma kontnental. Kebudayaan maritim Majapahit, Sriwijaya, Gowa, Aceh, Cirebon, sampai dengan Ternate dan Tidore yang memiliki armada laut kuat mendadak tenggelam sejak penjajahan Belanda berlangsung.
(6) Perubahan kebudayaan maritim ke kebudayaan kontinental merupakan hasil nyata penjajahan Belanda kepada bangsa Indonesia. Terdapat suatu upaya sistematis yang dilakukan Belanda yang seakan mencoba membatasi lingkup bangsa Indonesia hanya terbatas pada daratan. Hal tesebut juga terus terwariskan kepada para pejuang yang mencoba membebaskan negara ini dari penjajahan. Kondisi inilah yang menyebabkan penjajahan Belanda terhadap Indonesia brlangsung langgeng selama 350 tahun.
(7) Warisan ini kemudian terlegitimasi menjadi suatu ideologi membangun perekonomian Indonesia. Meskipun demikian, ideologi pembangunan kontinental tentu tidak sepenuhnya menjadi pendekatan yang salah jika diterapkan. Hal tersebut disebabkan karena Indonesia masih memiliki wilayah pulau-pulau dengan daratan yang luas. Selain itu, ada bagian bangsa Indonesia yang memiliki kultur kontinental. Beberapa suku bangsa di Indonesia seperti Papua, Timor, Batak, Dayak dan Toraja adalah beberapa representasinya. Akan tetapi, kurang bijak tentunya apabila menjadikan ideologi pembangunan kontinental sebagai ideologi arus utama dalam pembangunan perekonomian Indonesia.
(8) Kondisi ini kemudian seakan melupak fakta lain bahwa terdapat beberapa suku bangsa yang kental budaya maritimnya. Beberapa suku bangsa tersebut antara lain yaitu Jawa, Sunda, Melayu, Madura, Bali, Bugis, sampia dengan Ternate dan Tidore. Selain itu beberapa fakta menunjukkan bahwa sebagian besar pusat-pusat aktivitas perekonomian di Indonesia terletak sangat dekat dengan laut.
(9) Hal tersebut tidak dapat dilepaskan dari bangun relasi antar pulau di Indonesia yang sudah terjalin sejak lama. Desain pusat aktivitas perekonomian dan sosial di nusantara mendukung hal tersebut. Kenyataan bahwa sebagian besar pusat-pusat aktivitas ekonomi Indonesia menghadap ke laut bagian dalam wilayah Indonesia adalah bukti anggunnya desain tersebut.
(10) Sayangnya, relasi ekonomi dan sosial antar pulau yang telah terjalin lama tidak mampu dipertahankan karena minimnya visi maritim pemimpin Indonesia. Penurunan kualitas perdagangan antar pulau dimulai sejak tahun 1957/1958 (BIES, 1966). Dalam catatan tersebut, ditemukan fakta bahwa kapasitas pelabuhan tidak ditingkatkan seiring dengan meningkatnya volume perdagangan antar pulau di Indonesia.
(11) Inilah pangkal utama salah kaprah pembangunan Indonesia sampai dengan saat ini. Tidak tersedianya infrastruktur laut yang memadai menyebabkan perdagangan antar pulau di Indonesia yang sudah terdesain dengan baik tidak berkembang secara optimal. Di sisi lain, luas wilayah pulau merupakan unsur pendukung yang menggoda pemimpin untuk mengimplementasikan paradigma pembangunan ekonomi yang berbasis kontinental.
(12) Hal ini menjadi semakin kompleks karena ketidaksadaran mengimplementasikan paradigma ini telah meletakkan pulau jawa sebagai pusatnya. Sikap abai terhadap menjaga relasi ekonomi dan sosial antar pulau selanjutnya menyebabkan ketimpangan ekonomi antara Jawa dan luar Jawa. Ketidakmerataan ini merupakan PR serius bagi presiden terpilih untuk melihat persoalan pembangunan perekonomian dalam perspektif yang lebih luas. Revitalisasi pembangunan ekonomi dengan tidak melewatkan paradigma maritim dalam membangun ekonomi merupakan kekuatan utama bangsa Indonesia ke depan.
Monday, July 13, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment